Akulah Sang Medali

“Raya… kamu memang selalu jadi primadona di kelas kita. Selalu begitu sejak dulu, dan sekarang pun masih seperti itu.”

“Ah, aku setuju. Perfecto

“Ya, Ya. Memang seperti itulah Raya.”

“Ah, tidakkah kalian terlalu menyanjung?” Bantahku pada sanjungan kawan – kawanku ini. Rasanya, apa yang mereka sanjungkan tentangku memang berlebihan. Aku toh sama sekali tak merasa demikian.

“Sempurna? Apanya yang sempurna.” Aku sebetulnya ingin membantah mereka dengan kalimat ini. Tapi entah kenapa. Aku memang terlalu suka disanjung sejak dulu. Bukan gayaku untuk berbicara blak – blakan seperti seorang gadis tanpa etika. Sekalipun aku sedang kesal atau marah.

“Aku dengar, perusahaanmu baru saja membuka proyek perumahan baru ya?” Tanya Diva membuyarkan pikiranku yang sedang berkelana di masa SMA.

“Ah, ya. Tapi proyek ini sedikit berbeda dengan proyek sebelumnya.” Jawabku singkat. Rasanya cukup malas harus membicarakan kerjaan di pesta reuni seperti ini. Bukankah kita ke tempat ini untuk bersenang – senang?

“Iya, kali ini bukan perumahan elit kan? Aku dengar perusahaanmu memenangkan proyek pemerintah untuk program sejuta rumah?” Sahut Alex yang tiba – tiba saja sudah duduk disampingku.

“Woah, selamat ya? Sekarang kamu makin sukses aja. Perusahaan properti ayahmu yang dulu cuma berkiprah di kota ini, sekarang udah menjamah seluruh Indonesia berkat kamu.” Lanjut Alex sambil tersenyum kagum dan menatapku. Hmm, tatapannya sungguh membuatku canggung. Sampai aku tak bisa menjawabnya.

“Hmm, Raya memang selalu ditakdirkan untuk jadi medali. Aku jadi iri.” Maya bergumam seolah sedang bercakap kepada udara kosong. Masih saja menyambung dengan topik tentang ‘aku’. Aku benar – benar tak nyaman bila dihinggapi sanjungan seperti ini. Setiap kali reuni SMA diadakan, selalu beginilah keadaannya. Bahkan setelah 17 tahun berlalu.

Aku masih ingat jelas bagaimana dulu aku selalu disanjung para pria juga para gadis, seolah – olah aku adalah manusia tanpa cacat. Atau malah, mereka mungkin menganggapku seorang dewi.

Cantik, pintar, kaya, siapa yang tak mau jadi pacar Raya. Kalau aku lulus SMA, mendingan aku melamar jadi menantu ayahmu ketimbang melamar universitas.” Seperti itulah candaan Damar yang sering dilontarkan ketika SMA. Tapi, tentu saja itu hanyalah candaan.

“Hai!” Nira datang menepuk pundakku secara tiba – tiba. Sungguh mengagetkan.

“Hai Nira, kog baru datang?” Tanyaku.

“Ah, biasalah si kecil lagi rewel.” Kata Nira sembari menyesakkan dirinya di kursi yang terlihat longgar. Seketika saja, ia mengambil minuman yang tersedia di meja dan langsung meminumnya.

“Woah, Raya memang hebat. Kita – kita sudah melar dan berkeriput, kamu masih saja langsing seperti anak kuliahan.” Kata Nira. Ia mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung rambut seperti seorang juri kontes kencantikan.

“Jelaslah. Raya doank yang masih merdeka gitu. Cepat – cepatlah menikah. Tunggu apa lagi? Toh kamu sudah sukses.” Sahut Diva.

“Betul betul. Menikah dan berkeluarga memang melelahkan, tapi justru lelahnya itu yang lebih seru ketimbang cuma sibuk di kantor. Meski setiap hari harus bergelut dengan dapur dan daster sih. Tapi gak kalah seru ketimbang mendaki gunung deh.” Sambung Nira yang dulu memang rajin mendaki gunung. Sebagai seorang pecinta alam yang tomboy, aku cukup kagum karena ia bisa terlihat hebat sebagai ibu rumah tangga.

“Mungkin belum ada yang pantas buatnya. Sebuah medali seperti Raya memang harus jatuh pada pria terhebat donk.” Kata Alex sambil kembali menatapku.

“Bukannya kamu akan bertunangan dengan Pak Andre, CEO PT Semen Megah? Aku dengar dari saudaraku yang jadi anak buahnya Pak Andre. Hmm, cocok banget dech. Dia juga keren dan smart.” Kata Lila.

“Ah sudahlah. Bagiku, menikmati hidup saat ini adalah yang terpenting. Tak ada target. Kalau waktunya tiba, kalian pasti dapat undangan.” Kataku pasrah berusaha menutup topik pembicaraan tentang diriku yang sebenarnya, cukup menyebalkan.

Diantara seluruh kawan SMA-ku ini, sepertinya cuma aku yang belum pernah memiliki buku nikah. Bahkan, sudah ada yang menikah sampai dua kali. Meski sebagian ada juga yang masih single, tapi setidaknya status mereka janda atau duda, yang artinya mereka pun pernah merasakan nikmatnya pernikahan.

***

“Sampai jumpa semua”. Satu per satu mereka mulai berlalu pulang. Hari memang sudah larut. Hampir jam 10 malam. Yah, dulu di tahun – tahun pertama reuni, kita memang biasa berpesta sampai tengah malam, atau malah sampai pagi. Pesta ala anak muda. Tapi sekarang, banyak diantara mereka yang harus segera pulang karena telah dijemput oleh suami, istri, juga anak mereka.

Sementara aku masih saja melaju sendirian. Pulang ke rumah megah yang kutinggali hanya sendirian. Tidak, sebetulnya ada beberapa pembantu yang juga tinggal bersamaku. Tapi, mereka bukan keluargaku. Ah, memikirkan hal ini malah membuat suasana hatiku jadi kacau.

Kenapa aku harus bingung memikirkan hal ini. Di usiaku yang sudah 35 tahun, memang sewajarnya aku mulai memikirkan soal menikah. Bukan mulai, aku benar – benar sudah terlambat dan jadi perawan tua. Tapi, bukankah aku memang sudah hampir bertunangan dengan Mas Andre?

Mas Andre adalah sosok yang sempurna. Kuharap, kali ini pilihanku benar – benar tepat. Ia memang sosok yang bijak dan pintar. Yang terpenting, dia juga masih sendiri di usia yang ke-37. Ketimbang hanya berfikir tentangnya, mungkin lebih baik aku menghubunginya. Entah kenapa, aku tiba – tiba kangen dengan dirinya.

“tuutt…tuutt..tuutt..” Mas Andre tidak menjawab teleponku. Sepertinya ia sedang sibuk. Ia memang suka bekerja hingga larut malam.

“Kring …” Telponku bordering, tapi sepertinya bukan dari Mas Andre. Ini nomor baru.

“Raya, ini Alex.” Baru ku angkat teleponnya, suara di balik telepon itu langsung menyahut seolah terburu – buru.”

“Ya, Alex SMA Bina Bangsa?” tanyaku memastikan. Ada beberapa nama Alex yang kukenal. Hanya saja, suara dan nada bicara ini memang seperti Alex yang barusan kutemui.

“Ah, iya lah, siapa lagi? Sepertinya namaku memang pasaran ya?” kata Alex dengan nada bicara yang mulai lirih.

“Ah, cuma memastikan. Kenapa kamu malam – malam meneleponku? Awas nanti istrimu dengar, dikirain ada sesuatu.” Kataku agak heran karena memang tak biasanya ia meneleponku. Alex memang terkenal mata kerangjang dari dulu. Meski demikian, setelah menikah, ia sepertinya sudah mampu menjadi suami yang baik.

“Bukan begitu. Aku cuma mau tanya sesuatu. Memang bener ya kalau kamu mau tunangan dengan Andre Fajar Wibowo, orang yang baru bulan lalu diangkat jadi CEO PT Semen Megah?”

“Kenapa kamu tanyanya begitu? Sepertinya kamu kenal, sampai kamu hafal nama dan kapan dia diangkat jadi CEO? Apa dia saudaramu?” Tanyaku.

“Maaf Raya, maaf.” Kata Alex dengan nada semakin rendah dan seolah menyesal. Aku jadi semakin tak mengerti dengan tujuannya meneleponku malam – malam begini.

“Sebelumnya, dengar baik – baik, jangan marah dan pikirkan baik – baik. Aku pernah jadi sahabatmu, dan sampai sekarang, aku merasa masih sahabatmu. Jadi, Aku rasa aku harus ngasih tahu kamu kalau orang yang bernama Andre Fajar Wibowo tidak pantas buat kamu.” Kata Alex dengan sangat hati – hati.

“Pertama, dia pernah dipenjara karena terlibat kasus suap. Mungkin, ia ingin memanfaatkan kebesaran perusahaanmu lagi. Kedua, dia pernah menikah dan telah bercerai karena alasan kekerasan dalam rumah tangga. Dan yang ketiga …” Alex tiba – tiba berhenti berbicara.

“Alex, kamu sadar dengan apa yang kamu katakana?” Aku mencoba tetap tenang dan mengendalikan diriku. Aku masih melaju di jalanan dengan mobilku, jadi aku tidak boleh panik.

“Menepilah dulu. Aku tahu kamu masih nyetir.” Kata Alex”

“Ya, aku sudah menepi. Katakanlah …” Lanjutku. Aku tidak berniat untuk menepi.

“Salah seorang sepupu istriku adalah karyawannya. Namanya Ambar. Ia gadis 23 tahun yang hijrah ke kota demi sesuap nasi. Tapi sayangnya, hidupnya dihancurkan ketika ia bekerja di PT Semen Megah. Ia digauli oleh Manajernya sendiri, yang sekarang adalah CEO. Ya, dia adalah kekasihmu. Kamu boleh tak percaya padaku. Tapi setidaknya, cari tahu kebenaran ini.”

Jantungku benar – benar anjlok. Nafasku seolah terganjal oleh bongkahan batu dan membuatku hampir tidak bisa bernafas. Entah kenapa, air mataku kering. Sekali lagi, kesempurnaanku seperti jadi bumerang buatku sendiri. Aku gagal lagi, sebelum sempat bisa membina hubungan rumah tangga. Apakah, aku memang hanya sebuah medali.
  • Ditulis: 26/09/2015
  • Dipublikasikan: 05/06/2016
*Penulis: Hasna Wijayati