Kabar Burung


Kemarin, aku jalan-jalan. Dan sampailah aku ke sudut kota. Tanpa sengaja aku mendengar keluhan seorang anak lelaki kecil yang tampak kumal dan bau. Anak itu berdiri dan menyandarkan bahu kecilnya di tembok. Menggenggam kain kumal dan botol plastik berisi kerikil ditangannya dengan sangat erat, seakan takut bila dirampas.

Ibu, Aku tidak mau disini. Disini orang-orang jahat. Disini membuatku takut. Aku tidak boleh di rumah. Aku tidak boleh belajar. Aku tidak bisa bermain mainan yang kusenangi. Aku disuruh bermain di jalanan. Padahal aku tidak mau. Tapi katanya aku tidak boleh makan dan tidur sebelum aku selesai bermain di jalanan.

Padahal, aku tidak suka permainan ini. Aku tidak suka bermain dengan orang-orang besar yang galak dan bernyanyi untuk mereka sambil menengadahkan botol plastik. Permainan ini sangat aneh. Aku tidak pernah melihatnya dulu. Ibu juga tidak pernah menggajakku bermain seperti ini.

Aku tidak suka main ini. Aku mau pulang. Tapi aku tidak boleh pulang. Aku tidak tahu jalan pulang. Ibu, kenapa ayah menyuruhku pergi dengan orang – orang jahat ini. Kenapa Ibu tidak mau menjemputku pulang?

Kenapa Ibu tidak mengajak aku pergi bersama Ibu? Aku juga mau tidur bersama Ibu di sana. Di tanah, tanpa kasur, yang penting dengan Ibu. Kenapa Ibu membiarkan aku disini? Sendiri.  Kenapa Ibu masih mau tinggal dilubang sempit itu sendiri?

Jemput aku Ibu. Aku mau pulang dengan Ibu. Aku tidak akan nakal lagi. Aku akan jadi anak baik. Aku janji. Tapi ibu harus menjemputku. Aku mau. Aku mau tinggal di tanah sempit itu dengan Ibu. Sampai aku besar. Ibu, aku mau pulang. Kenapa Ibu tidak mau menjemput aku. Aku mau pulang.”

Air mata menetes di kedua pipi anak mungil itu. Usianya mungkin belum genap lima tahun. Anak itu masih terisak saat seorang pria bertubuh besar melotot ke arahnya dari sudut gang di atas kursi bambu 
nyamannya. Beberapa detik membalas tatapan pria besar itu dengan mata polosnya yang berkaca-kaca, anak itu langsung berlari lagi ke jalanan.

Di pojok lampu merah, menyanyi dan mengangkat botol plastiknya ke arah orang – orang yang hampir semuanya berpaling. Ia tidak dihiraukan. Hanya beberapa mata yang membalas dengan tatapan iba. Namun lebih banyak yang lainnya, malah membalas dengan tatapan jijik.

Aku melewati anak itu, aku terharu melihatnya, ingin aku mengajaknya pergi denganku. Terbang tak tentu arah, tanpa ada yang mengawasi dan mengikat. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Aku tidak tahu cara mengajaknya pergi. Aku bahkan tidak tahu cara mengajaknya berbicara. Aku hanya seekor burung kecil yang tersesat di kota.

Ya, aku juga tersesat untuk mencari jalan pulang. Tapi setidaknya, aku masih merdeka. Jadi nak, berjuanglah, berlarilah, jalanmu masih panjang. Aku hanya bisa mendoakanmu di bawah langit yang ku singgahi, karena aku, hanya seekor burung.
  • Dibuat: 22/09/2015
  • Dipublikasikan: 06/05/2016
*Penulis: Hasna Wijayati