Janji Senja
Sepertinya Fajar sudah hampir tiba pada titik putus asa dalam pendakian pertamanya. Tangannya gemetaran memegangi baju tebalnya yang tampak semakin lusuh. Pakaiannya betul-betul menegaskan bahwa ia baru saja mandi pasir. Ah, ia memang sudah berkali-kali mandi pasir dan tanah.
“Yuk jalan lagi, bentar lagi sampai pos loh.” Kata Kirana sambil mengulurkan tangannya. Fajar yang tampak betul-betul kelelahan pun mulai berusaha bangkit kembali dengan bantuan tangan kuat Kirana.
Yah, Kirana memang seorang cewek, tapi tangannya cukup tangguh dan tubuhnya tak diragukan lagi, tahan banting. Bahkan lebih tahan banting ketimbang Fajar yang notabene adalah seorang cowok.
Sudah berjam-jam mereka berjalan menuju puncak Lawu. Pos tiga juga sudah dilewati. Tapi, tetap saja masih ada beberapa pos yang harus dilewati untuk bisa melihat sabana megah yang bertengger indah di puncak Lawu.
Selama perjalanan itu, setiap orang dalam kelompok pendakian kecilnya selalu saja menolong Fajar yang memang sering jadi orang yang butuh bantuan. Ini memang kali pertama Fajar mencoba menaklukkan gunung. Berusaha mendaki untuk pertama kalinya, atau bahkan malah pertama kalinya pula ia bermalam di luar rumah.
Ia hanya berusaha mematahkan cap dirinya sebagai ‘anak mami’ yang manja. Ia ingin membuktikan bahwa ia pun bisa menjelajahi alam nyata, yang tidak hanya dari buku atau internet saja. Ini pula caranya menjawab tantangan Kirana tentang…
“Keberanian itu bukan dinilai dari caramu menghadapi kematian, tapi bagaimana kamu menghadapi kehidupan. Kalau berani, nikmati hidupmu sebebasnya. Hidup yang cuma sekali ini, harus kamu lewati tanpa penyesalan donk. So, jangan biarkan apapun mengekang kamu. Okay Fajar? Huft, kamu memang sudah terlalu lama meringkuk di dalam tempurun. Seperti katak saja.”
Meski Kirana terus berdalih kalau perjalanan tinggal sebentar, tapi toh tetap saja perjalanan ini sangatlah panjang. Kata “Sebentar lagi sampai pos” seolah cuma jadi hiburan.
Apalagi hiburan kalau “Santai! Habis ini tracking-nya gampang. Malahan kamu bisa pakai sepatu roda.” Padahal, bebatuan terjal dan tanjakan mengerikan dengan jarak batu yang tinggi adalah kenyataan yang harus dihadapi.
Hah, “Kirana memang penipu licik” batin Fajar. Tapi toh tipuan itu pula yang berhasil membawa Fajar sampai ke Puncak Lawu meski selama berjam-jam ia harus berperang dengan raganya sendiri yang kelelahan.
“Gimana? Seru kan?” Sapa Kirana sambil menyodorkan segelas air dalam gelas plastik. Seketika, ia langsung merebahkan diri di samping Fajar yang betah duduk di tanah sejak sampai di puncak Lawu.
“Hmm, ya. Tapi, apa aku menyusahkan?” Tanya Fajar yang mulai khawatir kalau keikutsertaannya dalam mendaki justru menyusahkan kawan-kawannya. Tapi tentu saja hal itu dibantah Kirana dan kawan lainnya.
Memang tak satupun dari mereka yang menganggap Fajar sebagai beban. Mereka malah senang akan semangat Fajar yang bertekad untuk menaklukkan puncak Lawu. Padahal, mereka tahu kalau Fajar memang seorang anak rumahan yang lembek. Beruntung Fajar menemukan kawan-kawan perjalanan yang baik.
“Jangan pernah mikir kalau kamu menyusahkan ya. Bahkan kalau kamu perlu digendong pun, aku siap.” Kata Kirana sambil nyengir. Kata-kata yang terdengar tulus, tapi tentu saja mustahil, pikir Fajar.
“Pendakian berikutnya, harus ikut lagi loh. Pastikan kamu lebih kuat. Ok?”
Fajar memilih terdiam sambil memandangi langit yang masih gelap. Seolah-olah, pandangannya mampu mengundang matahari untuk terbit lebih awal lagi.
“Ku dengar, kamu selalu pulang dengan pacar baru setiap kali mendaki. Kali ini, siapa lagi yang jadi targetmu?” Tanya Fajar pada Kirana yang memang tenar sebagai cewek yang gemar gonta-ganti pacar.
“Hei, jangan bicara seolah-olah aku ini playgirl ya? Bahkan, bukan aku yang menyatakan cinta. Mereka yang datang mengemis cintaku saat aku memang lagi jomblo. Apa salahnya? Ya dinikmati aja khan? Lagian aku juga gak tega kalau harus nolak mereka. Satu lagi, aku mendaki gunung sudah hampir selusin kali, dan mantan pacarku baru setengah lusin. So, salah besar kalau aku SE LA LU pulang dengan pacar baru.” Kata Kirana dengan nada yang cukup sengit dan seolah tanpa dosa.
Ada sedikit nada kesal, tersinggung, tapi entah kenapa ada juga nada bangga, senang juga masa bodoh yang terdengar dari suara Kirana. Sementara Fajar hanya tersenyum ringan mendengar jawaban ketus dari Kirana itu.
“Mereka semua tuh nggak ngerti arti cinta. Yang mereka tahu cuma pamer. Ya, aku dianggap seperti piala bergengsi yang layak dipamerkan.”
“Bukankah piala itu bagus? Sahut Fajar dengan nada rendah seperti berguman.
“Hah, kamu juga berfikir begitu?” Kirana balas menyahut dengan nada ketus.
“Tentu saja piala itu bagus. Cuma tak seharusnya manusia diperlakukan seperti piala khan? Karena manusia mempunyai hati. Gak seperti piala.” Sambung Fajar datar.
“Tuh, kamu tahu maksudku.” Kirana nyengir ke arah Fajar. Obrolan mereka pun berlanjut semakin menyenangkan. Entah siapa yang merasa lebih senang dalam perbincangan itu. Yang jelas, Kirana selalu tertawa lebar sementara Fajar hanya membiarkan sedikit senyum manis saja yang mengembang di bibirnya.
Kirana menghentikan tawanya dan kemudian tiba-tiba bertanya. “By the way, kamu tidak menyukaiku?” Ia memandangi wajah Fajar lekat-lekat seolah ingin melahapnya. Sementara Fajar masih membiarkan matanya menjelajahi langit.
“Tentu saja.” Jawab Fajar dengan nada datar. “Kamu baik, cantik dan ceria. Wajar juga kalau banyak pria menganggapmu seperti piala. Meskipun kamu tidak pintar dan terkadang tak tahu malu, tapi kamu orang yang sangat menyenangkan.”
“Bukan itu maksudku.” Kirana mengernyitkan dahi mendengar jawaban Fajar.
“Sebagai wanita! Apa kamu tak menyukaiku sebagai wanita? Kamu gak ingin aku jadi kekasihmu? Pacarmu? Istrimu? Soulmate, belahan jiwa gitu?”
“Apa kamu selalu blak-blakan begini?” Mata Fajar menatap ke dalam mata Kirana sampai membuat Kirana bingung harus kemana melempar pandangannya.
“Hei, kita sudah dewasa. Anak kuliahan semester empat. Jaman juga sudah modern. Jadi, gak ada salahnya buat blak-blakan menyatakan cinta.” Kata Kirana seolah tanpa dosa. Lagi-lagi, Fajar cuma menjawab dengan senyuman sambil kembali melemparkan pandangan ke arah langit yang mulai tampak sedikit remang cahaya.
“Jadi begini caranya menikmati hidup dengan sebebasnya tanpa membiarkan apapun mengekang? Kalau begitu, aku akan beranikan diriku bertanya jujur. So, boleh aku jadi pacarmu dengan masa aktif maksimal satu semester?”
“What?! Apa-apaan kamu? Memangnya kamu benar-benar mikir aku ini playgirl? Hah. Kupikir kamu pria yang bisa lebih menghargai perasaan wanita dan tak menganggapnya sebagai piala saja.” Kirana sedikit kecewa.
“Apa aku salah? Aku melihatmu seperti pria yang sempurna. Meski seperti anak mami, tapi kamu cukup bertanggung jawab untuk merampungkan semua tugas kampus, juga tugas kelompok. Meski terlihat sombong, tapi kamu selalu siaga untuk meminjamkan catatan, juga mengajariku saat butuh. Meski terlihat sok pintar, tapi tak pernah kulihat kamu berusaha menjatuhkan kawan lain, mendebat atau memperolok mereka. Kamu juga selalu berfikir positif pada semua kawan, termasuk padaku, apapun yang aku lakukan.”
Sementara itu, Fajar malah seolah tak menanggapi Kirana. Satu tangannya sibuk memeriksa saku celana dan jaket tebalnya. Satu tangan lainnya sibuk meraba gelas berisi air yang tadi diberikan oleh Kirana. Lalu, ia pun menenggak butiran-butiran mungil yang baru saja ia keluarkan dari dalam saku celananya tadi.
“Kamu sakit? Kenapa minum obat? Flu? Tanya Kirana keheranan.
“Permen.” Kata Fajar sambil tersenyum ringan. Ya, seperti senyumannya yang biasa. Sayangnya, ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang pucat dari Kirana yang terus mengamatinya dengan seksama. Tangan Kirana kontan menyentuh kening Fajar.
“Kamu sedikit demam.” Katanya panik. “Ah, kenapa kamu jadi cowok lembek banget.” Gerutu Kirana sambil menunjukkan rasa paniknya.
“Suhu badanku memang selalu lebih hangat. Jangan khawatir.”
“No way! Kamu masuk ke tenda sekarang. Huh, aku sebal sama cowok lembek gitu ah.” Keluh Kirana sambil berusaha mengangkat tubuh Fajar yang malah seolah enggan bergerak. Fajar semakin memperkokoh posisi duduknya tak mau kalah.
“I love you too.” Kata Fajar lirih sambil berusaha membuat Kirana kembali duduk. Tanpa sadar, Kirana pun kembali terduduk dan melepaskan pegangannya.
“Wow. Kamu mulai meniruku? Kapan aku bilang ‘I love you’?”
“Barusan.”
“Hei! Kamu menggoda. Jadi, sekarang kamu nembak aku?” Kirana tertawa.
“No. I love you as my little sister.”
“Hmm, jadi kamu mainin aku?” Kirana cemberut.
“Kirana. Kamu tahu arti nama Kirana?” Lagi-lagi, keluh Kirana tak ditanggapi.
“Hei, itu kan namaku. Tentu saja.” Kirana terdiam. “Hm, tapi aku lupa artinya.”
“Dalam bahasa Sansekerta, Kirana berarti senja. Dan ketika senja tiba, saat itulah matahari akan tenggelam. Ya, Kirana mengisyaratkan sang Fajar untuk tenggelam.” Gumam Fajar.
“Maksud kamu?” Kirana bingung. Anak ini sungguh-sungguh membingungkan.
“Tidak ada. Hanya saja sang fajar tidak bisa menemani kirana karena sudah saatnya ia tenggelam.”
“Hah. Aku tak mengerti. Aku tak akan menjadi senja kalau akan membuatmu tenggelam. Bukankah kala senja, matahari masih tetap ada, meskipun hanya sesaat?”
“Ya. Hanya sepanjang waktu senja. Itu tak akan lama. Jika kamu izinkan, aku ingin menemanimu sepanjang waktu senja saja. Hanya sepanjang senja.”
“Okey Fajar. Kamu sakit. Istirahat dulu deh. Bicaramu sudah ngelantur nggak jelas. Hah, aku sungguh tak mengerti. Mungkin kamu sudah kerasukan setan gunung.”
“Ya Kirana. Aku sakit. Hatiku. Hatiku sakit. Itu yang membuat masa aktifku tak akan lebih dari satu semester lagi.”
“Ah, hatiku juga sakit. Berkali-kali ketika aku putus sama mantan pacarku. Tapi aku tak pernah berniat untuk menentukan masa aktif seorang pria bagiku. Tak pernah.”
“Hatiku. Hati yang sebenarnya. Mungkin kalau aku menggunakan istilah liver, kamu akan lebih mengerti. Liverku sejak lahir mengalami masalah. Itu sebabnya aku selalu bertingkah seperti anak mami yang manja. Seperti katak dalam tempurung. Tapi berkat kamu, aku benar-benar sukses keluar dari dalam tempurung. Menetang orang tuaku yang melarangku pergi, dan bertekad membebaskan diri dari belenggu. Ya, menghadapi kehidupan yang katamu jauh lebih sulit ketimbang menghadapi kematian.”
Kirana adalah gadis yang tangguh. Tak sekalipun ia pernah menangis. Saat terjatuh, saat putus dengan mantan, saat dimarahi dosen, atau saat menyedihkan lain, ia tak pernah menangis. Tapi entah kenapa, kali ini air mata merembes di pipinya tanpa bisa ia kontrol. Ia berusaha menutup matanya agar air matanya tak keluar. Tapi ia gagal.
“Kamu benar-benar menggodaku.” Kirana bergumam lirih. Suaranya bergetar. “Pasti bisa. Pasti ada jalannya. Transplantasi hati. Ya. Pasti bisa…” Kata-kata Kirana terhenti ketika tanpa ia duga, Fajar perlahan mengecup keningnya.
“Berjanjilah padaku Kirana. Hiduplah lebih lama dengan selalu membawa keceriaanmu ini. Maka, sang fajar bisa tetap terjaga lebih lama. Bahkan ketika mentari tak lagi terlihat di ufuk timur, bukankah cahaya senja masih tetap bisa terlihat?” Dengan tangan sedikit gemetar, Fajar mengusap pipi Kirana yang semakin basah. “Terima kasih telah membawaku melihat cahaya fajar dari puncak ini. Setiap kali kamu ke puncak, aku pasti akan bersamamu. Pendakianmu berikutnya, aku akan muncul dari sana.” Sementara itu, cahaya fajar mulai terlihat mendaki ke atas puncak gunung Lawu.