Sepertiga Malam Terakhir
Aku cuma bisa meringis aneh ketika mendengar Dipta mengakui perasaannya.
“Boleh aku jadi suamimu Syifa?” katanya tersenyum. “Ehm, tapi sebelumnya, aku pengen jadi pacar kamu dulu.” Hei! Apa ini? Sebuah pernyataan cinta tiba-tiba dari seorang kawan dekatku?
“Aku, aku...” Bagaimana aku harus menjawabnya. Aku belum pernah pacaran. Tidak, lebih tepatnya, aku selalu menolak pacaran. Aku adalah muslimah berhijab yang harus menjaga polah tingkahku agar tak merusak citra gadis muslimah nan sempurna. Lagi pula, tugas utamaku sebagai anak kuliahan adalah belajar.
Sebelumnya, aku selalu sukses menolak berbagai pinangan tak resmi seperti ini. Tapi kali ini, entahlah. Terlintas di pikiranku bagaimana baiknya Dipta. Ia lucu, pintar, dan selalu menyenangkan. Tak pernah sekalipun kulihat dia marah atau berbuat kasar.
Sebagai pria, ia pun cukup tampan dengan kulit cerah, dan tubuh yang tinggi. Belum lagi, senyuman selalu mekar di bibirnya. Sulit rasanya untuk menolak pria se-‘sempurna’ dirinya. Entah kemana perginya akalku saat itu, pada akhirnya, aku mengiyakan ‘pinangan’ tak resmi darinya.
‘Ini sebuah pinangan untuk pacaran Syifa. Apa kau gila? Ini pinangan yang tak resmi, karena tak ada dalam tuntunan. Bukan khitbah untuk menikah.’ Aku sempat perang batin karena jawaban tak masuk akalku ini.
Yah, aku sepertinya memang sudah hilang akal karena asmara. Aku toh juga seorang remaja yang jiwanya juga bisa bergelora dan meledak karena cinta lawan jenis. Lagipula, aku sudah dewasa. Dua puluh tahun bukankah usia yang matang untuk pacaran? Selama aku tidak bermaksiat, tidak berzina, sepertinya tak masalah.
Aku bisa menjalankan pacaran yang “syar’i”. Ya, seperti ta’aruf agar aku bisa mengenalnya lebih dalam lagi. Terus saja aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Ah, sudahlah. Kunikmati saja dulu rasa kasmaran ini.
***
Malam ini, sebuah bisikan yang begitu lembut serasa menggerayangi telingaku. Bulu kudukku sampai terasa merinding karenanya. Bisikan yang tak jelas, tapi cukup mampu untuk membuatku terjaga dan melompat dari atas kasur empukku.
“Ah, sepertinya hanya angin yang masuk lewat celah jendela kamarku.” Memang tak seperti biasanya. Begitu aku terbangun, kesadaranku langsung penuh seratus persen. Bola mataku pun mampu memelototi jam dinding kamarku yang berdetak dalam hening.
“Jam dua.” Gumamku melihat jam dinding berwarna hijau yang tergantung tepat di depanku. Ya, jam dua artinya adalah sepertiga malam terakhir. Bagi seorang Muslim, adalah hal biasa kalau kita terbangun di sepertiga malam terakhir.
Selama 24 jam dalam sehari, bukankah saat-saat inilah yang paling sakral? Saat dimana setiap malaikat turun ke bumi dan berdzikir bersama alam yang hening. Dan saat itu pula, sudah selayaknya kita ikut terbangun dan ikut berdzikir melantunkan syukur kepada Allah Yang Agung.
Ya, seperti itu pula kebiasaanku di hampir setiap malam. Tanpa alarm yang harus mengagetkan telingaku, aku sudah bisa terbangun. Mungkin para malaikat sendiri yang membangunkanku dan mengajakku untuk bergabung dengan sesi pemujaan bagi Allah yang menguasai malam dan siang.
Sayangnya, kebiasaan itu terhenti dalam tiga bulan terakhir. Entah kenapa, sulit sekali bagiku untuk terbangun di sepertiga malam terakhir. Selalu saja ada rasa berat yang menggantung di kedua bola mataku. Rasa nyaman terus saja memelukku dan membuatku tetap meringkuk di zona nyaman antara bantal dan guling.
Sepertinya tak lebih dari sepuluh kali aku bertahajud dalam tiga bulan terakhir. Itupun dengan tubuh yang tetap berat dan hanya dengan tambahan dzikir super singkat. Sungguh payah! Tapi, kenapa malam ini aku terjaga dengan begitu mudahnya?
Bisikan apa itu tadi yang seolah berusaha berjejal merasuk ke telingaku? Apakah para malaikat merindukan aku agar aku bisa kembali berkumpul bersama kelompok dzikir mereka? Ya, mungkin saja. Ah, tentu saja begitu.
Dengan langkah ringan, aku meninggalkan kasur nyamanku. Mengambil air wudhu dan mengenakan mukena, dan tentu saja lanjut bertahajud. Tahajudku terasa begitu tenang. Sampai tiba ketika aku berucap salam, rasa bahagia perlahan menyusup ke dadaku. Entah apa ini tapi aku merasa lega luar biasa, seperti menemukan kembali harta yang hilang.
Selesai berdzikir, aku dikagetkan dengan dering panggilan di HP-ku. Siapa malam-malam begini meneleponku? Hmm, keterlaluan. Hah? Arsyid?
“Assalamualaikum Syifa”
“Waalaikumsalam.” Jawabku dengan nada bingung. “Umh, ada apa ya?”
“Afwan Syifa, aku telepon di jam segini. Aku tidak mengganggu tidurmu kan?” Ya, rupanya, kawan lamaku sejak SMA ini masih ingat kebiasaanku bertahajud. Kita sering berpapasan saat bertahajud jika pesantren kilat di sekolah atau saat diklat dulu.
“Langsung saja Syifa, Aku mau minta tolong sama kamu. Boleh aku main ke rumahmu bada’ Isya nanti?” Tanyanya dengan nada terburu-buru. Tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakannya.
Setelah Arsyid menutup gagang teleponnya, berbagai memori tentangnya berkeliaran di pikiranku. Aku pun mulai penasaran. Arsyid? Untuk apa dia butuh bantuanku setelah dua setengah tahun kita tak lagi pernah bersua atau pun berkomunikasi.
Terakhir kali kita bertemu, adalah ketika ia baru saja lolos seleksi perguruan tinggi. Ia datang membawa beberapa bungkus nasi kotak ke rumahku, yang katanya sih sisa pengajian di rumahnya. Dulu kita memang sering belajar bersama. Lebih tepatnya, aku yang membantunya belajar sih. Ia tak terlalu ahli dalam matematika.
Jadilah ia memintaku mengajarinya. Aneh juga kenapa ia memintaku. Bukankah ia cukup kaya untuk membayar guru privat atau pergi ke tempat les? Alasannya sih tak suka keramaian di kelas bimbel, dan tak nyaman juga dengan privat. Aku masih ingat dirinya yang begitu rajin datang ke rumahku hanya untuk memintaku membantunya belajar dan mengerjakan PR. Yah, bahkan lama-kelamaan tak cuma matematika.
Terkadang, ia memang menyita waktu belajarku sendiri. Sempat terpikir, kenapa aku membantu anak culun satu ini. Ya, meski ia adalah ketua OSIS, ia berpenampilan cukup culun, tak suka bergaul dan tak suka nongkrong bareng. Arsyid lebih suka mengisi jam pulang sekolahnya dengan merancang program OSIS, atau mengikuti aneka kegiatan rohis.
Tapi, ia sama denganku yang anti-pacaran. Hmm, dulu sih. Sekarang aku sudah goyah. Ia juga berjasa padaku karena dirinyalah yang mengingatkanku untuk tetap menjaga hijabku. Yah, dulu aku masih terlalu naïf karena membiarkan sebagian auratku terbuka saat di rumah, termasuk saat belajar bersamanya.
Itulah yang kukagumi dari Arsyid, sosok agamis yang patuh. Berbeda dengan Dipta yang keren dan modern. Yah, kuakui rasa kagumku pada Arsyid sempat berlebihan. Rasa yang mungkin tepat disebut dengan cinta karena Allah. Ya! Karena aku mencintai dirinya yang mencintai Allah.
Kubiarkan saja pikiranku berkelana dengan Arsyid seharian ini. Aku toh tak berniat menduakan hatiku. Aku hanya sekedar bertemu, dan mendengar entah apa yang hendak disampaikan kawan lamaku ini. Minta tolong? Apa mau belajar bersama lagi?
Adzan Isya sudah berkumandang. Setelah shalat Isya dan berdizikir sebentar, aku mengenakan hijabku. Kupilih hijab yang paling anggun dan paling cantik. Biar saja, aku cuma ingin memberikan kesan baik pada Arsyid karena sudah lama tak berjumpa.
Jam menunjukkan pukul 19.35 ketika terdengar suara ‘Assalamualaikum’ dari depan. Aku memasang telingaku baik-baik, karena tak terdengar seperti suara Arsyid. Betapa kagetnya aku ketika kubuka pintu, memang bukan Arsyid, melainkan Dipta.
“Dipta?” Tanyaku terheran. Ia sepertinya menangkap ekspresi kagetku.
“Tumben cantik banget? Kamu tahu ya kalau aku mau datang?” tanya Dipta sambil mengembangkan senyum di wajahnya yang manis. “Aku cuma mau pinjem catatan Pak Iwan, catatanku jalan-jalan entah kemana.” Keluh Dipta.
Aku pun meninggalkannya sejenak di teras rumah. Begitu aku kembali dengan membawa buku catatanku, aku melihat pemandangan yang membuat jantungku seolah akan merosot. Dipta dan Arsyid berdiri berjajar, saling menyapa.
“Nak Arsyid? Lama gak ketemu nih? Masuk yuk. Arsyid, nak Dipta juga.” Ibuku datang dari belakang dan mengembalikan kesadaranku yang sempat hilang beberapa detik.
“Saya langsung pulang saja Tante, ada janji.” Dipta memilih pamit.
Aku masih memegang buku catatan Pak Iwan yang tak sempat kuserahkan pada Dipta. Setelah Dipta lenyap, tiga orang lain datang dan memberondong masuk. Arsyid memperkenalkan mereka sebagai Umi, Abi dan Abangnya.
Melihat pemandangan yang tak biasa ini, jantungku tak karuan. Lebih tak karuan lagi karena Dipta pun bertemu dengan Arsyid. Aku bahkan sampai lupa memperhatikan Arsyid yang sudah kehilangan rona culunnya. Aku hanya diam mendengar mereka mengungkapkan basa-basi ringan yang tak bisa kumengerti maksudnya. Lalu, sesuatu yang diucapkan Ayah Arsyid masuk ke telingaku seperti bongkahan es. Membuat isi perutku terasa anjlok.
“Kami datang untuk mengkhitbah Nak Syifa untuk Muhammad Arsyid Arfani, putra kedua kami ini.” Kata ayah Arsyid dengan begitu ringannya.
“Alhamdulilah Arsyid sudah mau lulus dan mulai berbisnis. Yah, bisa dikatakan mulai mapan. Jadi dia sudah tak sabar untuk segera datang kesini.” Lanjut Ibunya sambil tersenyum. Tampak rona bahagia memancar di wajah keempat tamu ini.
“Maklum anak muda. Dia sampai nekat telpon Syifa saat masih pagi buta. Pengen segera nyusul Abangnya ini.” Kali ini giliran Abangnya yang unjuk bicara sambil tertawa meledek adiknya yang tertunduk malu.
Sejenak, pikiranku melesat pada sepertiga malam terakhir yang membuatku terjaga tadi. Inikah pertanda dari Allah? Tapi bagaimana dengan pinangan tak resmi dari Dipta yang telah kujalani selama hampir satu semester? Entah kenapa, Aku bahagia mendengar khitbah ini, tapi, apa yang harus kulakukan dengan Dipta?