Aku Dia dan Kapal Tua - Chapter 1

"Di sini, di sebuah kapal tua yang ku tumpangi, berharap cepat sampai menemuimu pujaan hati, nan jauh di sana. Semoga kau tahu bahwa aku nan jauh di sini teramat merindukanmu."

Angin terus berhembus menghantam layar kapalku. Badai menggemulai tiada henti mengombang ambing tubuh kapalku. Aku tidak takut meskipun harus tenggelam mati di lautan ini. Karena sekalipun harus begitu, aku percaya mayatku akan terbawa ombak dan bertepi di pulau kelahiranmu.

Duhh Samudra, ku harap kau mengerti tentang perasaanku.

Duhh Semesta, ku harap kau tahu hasrat cintaku untuk bertemu kekasihku.

Sudah lima hari aku berlayar di permukaan arloji terjal lautan ini. Meliuk-liuk tiada henti. Bila bukan karena cinta, tidak akan mungkin aku sejantan ini, berlayar bertaruh nyawa hanya demi bertemu kekasih tercinta.

Lapar, haus dahaga, tidak kupedulikan lagi. Pikiranku cuma tertuju pada satu, yaitu dapat selamat dan bertemu dia yang telah lama tak berjumpa.

Dari kejauhan, aku menatap sungguh tidak jelas jenisnya. Pekat! Gelap sekali. Kabut-kabut benar-benar menutupi arah pandangku. Ah, tapi aku tidak peduli. Dalam keadaan bagaimana pun, aku tetap berani melawan apa yang sedang ku hadapi.

"Sroak!!"

Terkejutku mendengarnya. Tidak tahu dari arah mana. Terasa seperti ada yang keluar dari permukaan air. Badai semakin gencar terasa menghantam kapal. Hampir jatuh tubuhku tergeyong terlalu kencang.

Aku menghela napas, mencoba tenang dan tetap fokus memainkan kendali. Rasa tegang yang selalu datang, rasa gelisah yang kian menghadang, selalu ku lawan dengan hati kuat dan seluas lapang.

Beberapa saat kemudian, keadaan di luar tidak lagi remang. Kabut-kabut mulai pergi seakan ada yang menyingkirkan. Syukurlah, dengan demikian pandanganku semakin mudah menemukan jalan.

Ku pakai teropong yang menyangkut di leher. Mata menatap jauh melihat sekitar arah yang menggebas di depan.

Sejenak pandanganku terpacu, menyelediki sesuatu yang tidak ku tahu. Aku terkejut, teropong yang sedang kugunakan terlepas dari tangan. Nyata sesosok makluk besar yang sedang menguap di depan mulut kapal. Aku benar-benar lemas melihatnya. Tanpa sadar, aku jatuh duduk dengan mata memandang penuh pasrah. Perlahan, kapalku tertarik oleh ombak menuju ke dalam mulut hewan itu.

Ohh Tuhan..

Apakah hari ini adalah hari terakhirku?!. Apakah perjuanganku sampai di sini?!. Apakah aku akan mati di tengah samudra ini?!.

Ohh Diana..

Kau harus tahu semua tentangku.. Aku yang selalu merindukan, yang selalu mengingat semua tentang kejadian indah di masa lalu. Di sini, diriku telah menjadi lumut di tengah aliran darah rindu. Pada Hati yang tiada henti menyebut namamu.

Pada Illahi ku berharap semoga Tuhan mempertemukan kita, biarpun dalam mimpi, Biarpun dalam regukan nyawa ini, kamu tetaplah yang ku rindu dan kamu pun selalu ada dalam sanubariku.

Hati ku terus berkata merangkai ribuan do'a. Ya, do'a teruntuk kasihku Diana kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Aku terus terpelosok ke dalam mulut hewan itu. Beberapa layar kapalku sudah sobek. Sebagian tiang penyangga kapal sedikit-sedikit mulai patah. Dan hingga pada akhirnya, aku hanya bisa menyerahkan segenap diri pada Yang Kuasa.

Aku dan kapal tergoyak di telang hewan laut. Aku masuk ke dalam pangkal asupan makanan hewan itu.

Tiada lagi yang bisa kuharapkan. Mana mungkin datang pertolongan turun dari langit. Sementara tubuh ku telah bias mengarah ke tempat yang tidak mungkin ada, yang mampu membuatku selamat. Usai sudah perjalanan ini. Berakhir karena aku mengambil jalan yang salah. Padahal jika aku sabar, maka pasti aku akan bertemu dan menikahinya tanpa perlu berlayar taruh nyawa seperti ini.

Pada seonggok hati. Saat ini, puaskah engkau telah merasakan kasmaran. Pada secuil akal, saat ini puaskah engkau telah merasakan apa yang kau inginkan. Deru air terdengar keras seperti bunyi mesin penghalus buah. Apakah ini dalam mimpi ?!, atau hanya aku sedang menghayal sendiri ?!.

Kali ini aku merasa heran. Nyatanya aku tidak mati lantaran ditelan. Aku masih hidup di dalam perut hewan.

Aku meraba tubuh, ternyata masih utuh. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan. Aku masih diberi napas dalam perjalanan pencarian bertemu kasih ku Diana.

Aku menghela napas. Ku hembuskan upaya melepas semua ketegangan. Sungguh ini adalah keajaiban bagiku. Segala peristiwa yang pernah kualami, baru pertama kali aku lewati kejadian macam ini.

Di dalam tubuh hewan ini sangat gelap sekali. Aku hanya bisa merasakan dengan terduduk di bawah sejenis kayu sisa kapalku yang agak sedikit terkena genangan air, entah darah atau bukan.

Perlahan kuraba tempat sekitar, terasa lembek dan adapula yang keras. Setelah aku menciumnya, nyatanya sangat bau sekali. Bau busuk yang teramat menusuk hidung.

Aku sedikit mual, kepalaku pusing merasakannya. Hampir saja aku pingsan.

Tak lama kemudian perutku berbunyi, rasa laparpun mulai menghantui. Tapi dalam keadaan gelap begini, masa iya aku dapat makanan. Lagi pula saat inikan aku berada di tubuh hewan besar tidak jelas ini.

Aku mencoba menahannya, tetap saja rasa lapar tidak bisa dicegah kalau bukan dengan makan. Aku mulai menghayal keburukan, akankah aku mati di dalam tubuh hewan dan yang menjadi darah daging serta kotoran-kotorannya.

Duhh Tuhan...

Mungkin ini caramu mematikanku. Aku tidak dibunuh melainkan membunuh sendiri.

Duhh Diana...

Kiranya sampai di sini perjuanganku mencarimu. Kuharap kau menemukan sosok yang lebih kuat dibanding aku.

Aku sudah kehabisan tenaga. Tubuhku sungguh lemas seketika. Berbagai upaya bagiku sudah sia-sia. Dan sekarang sudah saatnya aku berdiam menyerahkan jiwa dan raga.

Aku mengela napas sedalam dalamnya, kemudian kuhembuskan sambil teriak akan nama kasihku Diana, pikirku begitu aneh. Mungkin saja dengan begini ada jawaban darinya.

"Uuaagghh" 

Hewan itu memekikan suara dengan membuka mulut lebar-lebar. Aku yang sedang terkapar melihat cahaya ada di luar. Cerah, menyilaukan mata. Sejenak kupaksa untuk memperhatikannya. Nyatanya itu adalah benar-benar cahaya, sama sekali tiada wujud sesuatu padanya.

Dan hingga dihembusan napas terakhir, mata ku meredup. Sekujur tubuh ku semakin melayu. Hilang semua akalku, tergagap mengucap kan selamat tinggal pada dunia. Ya, dunia yang pernah kupijak lalu ini. Terimkasihku pada hewan yang sudah tidak memakanku dengan kejam.

Terimkasihku pada Tuhan atas nikmat pertolongan yang selalu ia berikan. Apalah daya pada hari ini. Hari yang tidak ku ketahui namanya.

"Selamat tinggal"

Segala rasa yang membuai, telah punah diamuk masa, pergi dan menghilang, tenggelam oleh kerasnya perjalanan. 

Tiba-tiba aku merasakan tubuh ini serasa dicengkram. Aku tidak sanggup membuka mata. Dalam hatiku, aku yakin ini adalah sebuah hukuman dari Tuhan. Semakin keras terasa cengkraman itu. Dan akupun semakin hanyut dalam penyesalan dosa.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara hewan. Sepertinya ini adalah suara burung yang sedang membawa ku terbang. Ya, aku merasakannya. Dengan ganas jeruji kuku-kukunya menancapi tubuh ini. Begitu besar menyelimuti sebagian jasadku yang tengah tak berdaya. Aku tidak tahu akan dibawanya kemana, cukup pasrah dan menerima semuanya.

-- Chapter 2 --