Aku Dia dan Kapal Tua - Chapter 2
Pion-pion kerang terambah begitu banyak. Pasir-pasir tergelar di bawahnya. Awan yang begitu keruh seakan sedang marah. Mataku menoleh ke semua arah. Pohon-pohon yang tinggi menjulang, berjejer sangat besar, tak terhitung jumlahnya.
Tubuhku sendiri, tergeletak penuh pasir. Bajuku terdapat beberapa sobekan panjang yang menderet sampai kebelakang.
Lemas! Tidak berdaya, mulutku sangat pasi. Wajahku begitu kusut seperti orang yang terbuang. Berkali-kali kubangunkan tubuh ini. Berkali-kali juga aku jatuh tidak kuat menahannya. Setiap kali hendak bergerak, tulang-tulangku begitu rengkak serasa patah. Aku tidak tahu ini di mana. Tempat ini seperti pulau mati. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Sampah tulang beluang hewan, berserakan ditepi laut, besar! Dengan panjang hampir setinggi pohon kelapa. Pandanganku tidak bisa jauh, remang tertutup kabut. Suara deru air terdengar begitu ganas, menabrak permukaan cadas. Tidak hanya itu, suara-suara hewan laut pun ikut berkoar meramaikan telingaku. Tidak salah lagi dari nadanya, pasti hewan besar seperti monster. Rasa takut mulai meraba, bulu kudukku terbangun bicara. Apakah aku masih didunia?! Ataukah tempat ini adalah neraka khusus teruntuk seorang pelaut?!.
Lagi-lagi masalah tak kunjung sudah, rasa takut, gelisah, selalu berkecambah. Harapan buruk menusuk hati, haruskah sekejam ini?!. Diriku seakan asing dimata alam, sulit untuk bersahabat dengannya. Diriku bagaikan musuh yang sangat dibenci, bagaimana bisa? Sepanjang perjalanan selalu ada yang menghadang. Hingga saat ini, mungkin sekarang mereka tengah bahagia menertawakan usai berhasil menggencarku sampai jatuh payah.
Angin menggebas menerbangkan butiran pasir. Daun-daun kering ikut terbawa hulu hilir. Air berjalan membasuh tubuhku, beberapa sisa hewan yang membangkai pun menabrak separuh diriku yang layu.
Siapa yang telah membawaku ke tempat ini?!. Bukankah terakhir kali aku tengah menghembuskan napas di perut hewan laut?!. Tapi... Astaga, aku ingat waktu itu seperti ada burung yang membawaku terbang. Ya, dengan cakar kakinya burung itu mencengkram tubuhku.
Mengira dan mengulas, kuingat penuh selidik antusias. Seketika kilap menyambar, suara guntur menggelegar. Aku terkejut, badanku semakin lara usai gegad berontak. Aku bagaikan mayat yang sadar, tubuh serasa tertimpa batu besar yang dikelilingi duri-duri tajam.
Duh Tuhan, berikan aku kekuatan. Tenaga yang mampu membawaku terlepas penderitaan. Jika tidak enggan bantuan, bawalah aku tuhan, aku pasrah dan ingin kembali kepangkuanmu. Disini aku hina, tak berdaya usai cobaan datang bergantian, karena akibat ulah kesombonganku akan hakikat cinta. Meski perjalanan ini telah menjadikanku terlihat kuat dan gagah. Namun jika berlama disini, apalah guna caramu melumatkan diriku yang tengah tak berdaya ini. Ambillah diriku tuhan, aku lelah berlarut dalam masalah-masalah yang mereguk hati, jiwa dan raga.
"Makanlah, kamu pasti lapar."
Tubuhku masih terkapar, sepiring nasi dari batok kelapa. Bertabur potongan daging ikan bakar tengah tergeletak di depan mataku. Asapnya mengepul seakan baru selesai dimasak, panas.
"Nah, minum dulu sebelum kau makan. Pasti perjalananmu sangat menguras dahaga."
Badan gempal memakai jaket tebal yang terurai dengan kepala tertutup topi lebar, ia setengah jongkok menyerahkan ujung bambu berisi air. Mataku sayup-sayup menolehnya. tanpa lagi bicara, orang itu langsung meminumkanku, peduli. Ia tersenyum. Lesung pipi berkulit kerut itu terlihat manis. Mulutku tengah terbuka, perlahan kutelan air yang telah terkumpul penuh.
"Nah, suap nasinya."
Aku memakannya. Pria tampang tertutup itu begitu peduli tentang keadaanku. Sikapnya lembut seperti seorang ayah yang memanjakan anaknya. Perlahan kutelan, pria itu sangat antusias menyiapkan sesuap demi sesuap. Siapa orang ini?!. Apakah malaikat yang sedang berkamuflase?! Ataukah penjaga pulau seram ini?!.
"Tidak usah begitu, tenang saja. Aku orang baik," ucapnya ramah "sudah banyak orang yang terdampar di pulau ini, tidak hanya kamu. Mereka aku asuh sampai sehat pulih, kemudian aku antarkan mereka ketempat tujuan" lanjutnya sambil menyodorkan sesuap makanan.
Aku mengangguk alon, raut sepat merasa malu, terbaca pikiranku.
Waktu terus berlalu, jauh di luar nalar. Nyatanya aku masih bertahan hidup, berkat pria tampang setengah baya itu yang tengah menolongku. Hatiku melega, rasa sesak melonggar di dada. Di atas pangkuannya aku dibuai. tersenyum.
Angin semakin ganas, meniup kencang dari arah laut. Deru hewan bergumam, bersahutan. Topi lebar yang dikenakan pria itu sempat kabur, baju dalam yang memanjang berkibar-kibar. Ia bagaikan orang tua kusendiri, tidak peduli apa yang terjadi, yang terpenting aku merasa nyaman saat ini.
Aku tersenyum, senyum pertanda kebahagiaan. Ia membalasnya, memberi kehangatan pada hati dan jiwaku.
Tiba-tiba hujan menyerbu turun, deras menimpa tubuhku dengan ganas. Sesekali kilap menyambar, disusul oleh guntur yang menggelegar. Aku yang masih terkapar, letah letai orang itu membopongku. Ia berlarian menjauh dari pulau menuju sebuah batu yang berlubang. Aku menggigit bibir menahan sakit. Luka goresan terasa memar saat terkena hujan. dikaki, tangan dan pipi.
"Tahan sedikit anak muda, sebentar lagi juga tiba."
Kakinya terus gagah melangkah, ditinggalkannya sisa makanan, ia lebih mementingkan keselamatanku.
"Kau dingin Nak. Sebentar, aku buatkan api unggun, penghangat tubuh."
Ia lonjak, tangannya melaktak mengumpulkan beberapa batang kayu yang berserakan, Saat sebelumnya aku telah direbakan disudut bebatuan. Hujan terus menggempur alam, tubuhku tengah bersanding, sedekap tertusuk hawa dingin.
Tempat ini sejenis gua, hanya saja kecil dan tidak terlalu dalam. Kulihat goresan luka-luka, memoncongkan daging segar yang basah. Getir.
Api sedang menyala, aku tidak tau dengan apa orang itu menghidupkannya, Tidak butuh waktu lama.
"Aww." aku jera kesakitan
Tidak dengan oceh bicara, orang itu langsung mendekat dan melepas ikatan kain dikepalanya, ia memperban goresan lukaku, berada di sebagian wajah. Nyeri.
Mungkin karena ikut terkena uapan kobaran api. Aku menghela napas, meski tubuh ini layu tak bertenaga, harapan besar kutimbul pasti akan segera lekas segar semula. Mengingat ucapannya tadi, membuatku percaya akan tercapainya impianku sampai tujuan.
Oh Tuhan, terima kasih atas semua yang kau berikan. Rahmat-Mu selalu tercurah, meski sadar, aku jarang ibadah. Entah, sebesar apa dosaku kepada-Mu. Kiranya bumi dan langit melebihi besarnya dosa, tetapi rahmat-Mu seluas semesta. Setiap do'a yang kupanjatkan, selalu saja Engkau kabulkan. Setiap rasa sesak datang menghantam, lagi-lagi Engkau tolong aku, menyelamatkan. Tiadalah hebatnya tubuh kokoh ini, otot-otot yang menonjol seperti agar-agar yang kenyal. Tanpa-Mu, aku bagaikan butiran pasir. Kecil tak berarti.
"Hei nak muda, kenapa kau menangis?!"
Tanganku menyeka pinggiran mata, coba menghapus air yang sempat meluap.
"Eih, ada apa ini? Ada yang salah dengan ku?!. Nak muda, bicaralah." lanjutnya menolehku lamat-lamat
Aku mengangkat kepala, tersenyum, "Tidak ada yang salah tuan, hanya saja aku merasa haru dengan semua kebaikan tuan. Maaf sebelumnya. Boleh kah aku tahu siapa nama tuan?" wajahku saling pandang.
Orang itu mengangkat alis, tatapan matanya tak lagi tumpul, tangannya perlahan turun lepas memegang bahuku. tertegun.
"Tidak mungkin." pekiknya, melengoskan wajah
Aku heran, terdiam seribu bahasa. Diriku yang tidak dapat bergerak bebas-- mengunci bahasa tubuhku.
"Kenapa kau bilang kebaikan, hah! Bukankah ini perbuatan jahat. Lihatlah nak muda, aku telah membunuh banyak hewan dilaut ini. Aku frustasi anak muda. Kebencianku teramat besar kepada pulau ini. Tidak jarang aku membuat bahan peledak untuk merusak keanekaragaman di dalamnya. Namun aku keliru, nyatanya pulau yang sudah membesarkanku, dengan kejam kubalas budinya dengan dendam kedengkian."
Matanya memerah madam. Mendelik geram.
"Memangnya sesuatu apa yang membuat tuan yang demikian?!" suaraku mendesis, penasaran.
"Putriku nak...putriku telah mati di pulau ini." suaranya terisak, matanya tidak kuasa membendung kesedihan, menangis.
Tubuhku sendiri, tergeletak penuh pasir. Bajuku terdapat beberapa sobekan panjang yang menderet sampai kebelakang.
Lemas! Tidak berdaya, mulutku sangat pasi. Wajahku begitu kusut seperti orang yang terbuang. Berkali-kali kubangunkan tubuh ini. Berkali-kali juga aku jatuh tidak kuat menahannya. Setiap kali hendak bergerak, tulang-tulangku begitu rengkak serasa patah. Aku tidak tahu ini di mana. Tempat ini seperti pulau mati. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Sampah tulang beluang hewan, berserakan ditepi laut, besar! Dengan panjang hampir setinggi pohon kelapa. Pandanganku tidak bisa jauh, remang tertutup kabut. Suara deru air terdengar begitu ganas, menabrak permukaan cadas. Tidak hanya itu, suara-suara hewan laut pun ikut berkoar meramaikan telingaku. Tidak salah lagi dari nadanya, pasti hewan besar seperti monster. Rasa takut mulai meraba, bulu kudukku terbangun bicara. Apakah aku masih didunia?! Ataukah tempat ini adalah neraka khusus teruntuk seorang pelaut?!.
Lagi-lagi masalah tak kunjung sudah, rasa takut, gelisah, selalu berkecambah. Harapan buruk menusuk hati, haruskah sekejam ini?!. Diriku seakan asing dimata alam, sulit untuk bersahabat dengannya. Diriku bagaikan musuh yang sangat dibenci, bagaimana bisa? Sepanjang perjalanan selalu ada yang menghadang. Hingga saat ini, mungkin sekarang mereka tengah bahagia menertawakan usai berhasil menggencarku sampai jatuh payah.
Angin menggebas menerbangkan butiran pasir. Daun-daun kering ikut terbawa hulu hilir. Air berjalan membasuh tubuhku, beberapa sisa hewan yang membangkai pun menabrak separuh diriku yang layu.
Siapa yang telah membawaku ke tempat ini?!. Bukankah terakhir kali aku tengah menghembuskan napas di perut hewan laut?!. Tapi... Astaga, aku ingat waktu itu seperti ada burung yang membawaku terbang. Ya, dengan cakar kakinya burung itu mencengkram tubuhku.
Mengira dan mengulas, kuingat penuh selidik antusias. Seketika kilap menyambar, suara guntur menggelegar. Aku terkejut, badanku semakin lara usai gegad berontak. Aku bagaikan mayat yang sadar, tubuh serasa tertimpa batu besar yang dikelilingi duri-duri tajam.
Duh Tuhan, berikan aku kekuatan. Tenaga yang mampu membawaku terlepas penderitaan. Jika tidak enggan bantuan, bawalah aku tuhan, aku pasrah dan ingin kembali kepangkuanmu. Disini aku hina, tak berdaya usai cobaan datang bergantian, karena akibat ulah kesombonganku akan hakikat cinta. Meski perjalanan ini telah menjadikanku terlihat kuat dan gagah. Namun jika berlama disini, apalah guna caramu melumatkan diriku yang tengah tak berdaya ini. Ambillah diriku tuhan, aku lelah berlarut dalam masalah-masalah yang mereguk hati, jiwa dan raga.
"Makanlah, kamu pasti lapar."
Tubuhku masih terkapar, sepiring nasi dari batok kelapa. Bertabur potongan daging ikan bakar tengah tergeletak di depan mataku. Asapnya mengepul seakan baru selesai dimasak, panas.
"Nah, minum dulu sebelum kau makan. Pasti perjalananmu sangat menguras dahaga."
Badan gempal memakai jaket tebal yang terurai dengan kepala tertutup topi lebar, ia setengah jongkok menyerahkan ujung bambu berisi air. Mataku sayup-sayup menolehnya. tanpa lagi bicara, orang itu langsung meminumkanku, peduli. Ia tersenyum. Lesung pipi berkulit kerut itu terlihat manis. Mulutku tengah terbuka, perlahan kutelan air yang telah terkumpul penuh.
"Nah, suap nasinya."
Aku memakannya. Pria tampang tertutup itu begitu peduli tentang keadaanku. Sikapnya lembut seperti seorang ayah yang memanjakan anaknya. Perlahan kutelan, pria itu sangat antusias menyiapkan sesuap demi sesuap. Siapa orang ini?!. Apakah malaikat yang sedang berkamuflase?! Ataukah penjaga pulau seram ini?!.
"Tidak usah begitu, tenang saja. Aku orang baik," ucapnya ramah "sudah banyak orang yang terdampar di pulau ini, tidak hanya kamu. Mereka aku asuh sampai sehat pulih, kemudian aku antarkan mereka ketempat tujuan" lanjutnya sambil menyodorkan sesuap makanan.
Aku mengangguk alon, raut sepat merasa malu, terbaca pikiranku.
Waktu terus berlalu, jauh di luar nalar. Nyatanya aku masih bertahan hidup, berkat pria tampang setengah baya itu yang tengah menolongku. Hatiku melega, rasa sesak melonggar di dada. Di atas pangkuannya aku dibuai. tersenyum.
Angin semakin ganas, meniup kencang dari arah laut. Deru hewan bergumam, bersahutan. Topi lebar yang dikenakan pria itu sempat kabur, baju dalam yang memanjang berkibar-kibar. Ia bagaikan orang tua kusendiri, tidak peduli apa yang terjadi, yang terpenting aku merasa nyaman saat ini.
Aku tersenyum, senyum pertanda kebahagiaan. Ia membalasnya, memberi kehangatan pada hati dan jiwaku.
Tiba-tiba hujan menyerbu turun, deras menimpa tubuhku dengan ganas. Sesekali kilap menyambar, disusul oleh guntur yang menggelegar. Aku yang masih terkapar, letah letai orang itu membopongku. Ia berlarian menjauh dari pulau menuju sebuah batu yang berlubang. Aku menggigit bibir menahan sakit. Luka goresan terasa memar saat terkena hujan. dikaki, tangan dan pipi.
"Tahan sedikit anak muda, sebentar lagi juga tiba."
Kakinya terus gagah melangkah, ditinggalkannya sisa makanan, ia lebih mementingkan keselamatanku.
"Kau dingin Nak. Sebentar, aku buatkan api unggun, penghangat tubuh."
Ia lonjak, tangannya melaktak mengumpulkan beberapa batang kayu yang berserakan, Saat sebelumnya aku telah direbakan disudut bebatuan. Hujan terus menggempur alam, tubuhku tengah bersanding, sedekap tertusuk hawa dingin.
Tempat ini sejenis gua, hanya saja kecil dan tidak terlalu dalam. Kulihat goresan luka-luka, memoncongkan daging segar yang basah. Getir.
Api sedang menyala, aku tidak tau dengan apa orang itu menghidupkannya, Tidak butuh waktu lama.
"Aww." aku jera kesakitan
Tidak dengan oceh bicara, orang itu langsung mendekat dan melepas ikatan kain dikepalanya, ia memperban goresan lukaku, berada di sebagian wajah. Nyeri.
Mungkin karena ikut terkena uapan kobaran api. Aku menghela napas, meski tubuh ini layu tak bertenaga, harapan besar kutimbul pasti akan segera lekas segar semula. Mengingat ucapannya tadi, membuatku percaya akan tercapainya impianku sampai tujuan.
Oh Tuhan, terima kasih atas semua yang kau berikan. Rahmat-Mu selalu tercurah, meski sadar, aku jarang ibadah. Entah, sebesar apa dosaku kepada-Mu. Kiranya bumi dan langit melebihi besarnya dosa, tetapi rahmat-Mu seluas semesta. Setiap do'a yang kupanjatkan, selalu saja Engkau kabulkan. Setiap rasa sesak datang menghantam, lagi-lagi Engkau tolong aku, menyelamatkan. Tiadalah hebatnya tubuh kokoh ini, otot-otot yang menonjol seperti agar-agar yang kenyal. Tanpa-Mu, aku bagaikan butiran pasir. Kecil tak berarti.
"Hei nak muda, kenapa kau menangis?!"
Tanganku menyeka pinggiran mata, coba menghapus air yang sempat meluap.
"Eih, ada apa ini? Ada yang salah dengan ku?!. Nak muda, bicaralah." lanjutnya menolehku lamat-lamat
Aku mengangkat kepala, tersenyum, "Tidak ada yang salah tuan, hanya saja aku merasa haru dengan semua kebaikan tuan. Maaf sebelumnya. Boleh kah aku tahu siapa nama tuan?" wajahku saling pandang.
Orang itu mengangkat alis, tatapan matanya tak lagi tumpul, tangannya perlahan turun lepas memegang bahuku. tertegun.
"Tidak mungkin." pekiknya, melengoskan wajah
Aku heran, terdiam seribu bahasa. Diriku yang tidak dapat bergerak bebas-- mengunci bahasa tubuhku.
"Kenapa kau bilang kebaikan, hah! Bukankah ini perbuatan jahat. Lihatlah nak muda, aku telah membunuh banyak hewan dilaut ini. Aku frustasi anak muda. Kebencianku teramat besar kepada pulau ini. Tidak jarang aku membuat bahan peledak untuk merusak keanekaragaman di dalamnya. Namun aku keliru, nyatanya pulau yang sudah membesarkanku, dengan kejam kubalas budinya dengan dendam kedengkian."
Matanya memerah madam. Mendelik geram.
"Memangnya sesuatu apa yang membuat tuan yang demikian?!" suaraku mendesis, penasaran.
"Putriku nak...putriku telah mati di pulau ini." suaranya terisak, matanya tidak kuasa membendung kesedihan, menangis.
Posting Komentar untuk "Aku Dia dan Kapal Tua - Chapter 2"
Jangan lupa tinggalkan komentar, jika konten ini bermanfaat. Terima kasih.