Global Justice dalam Perdagangan Internasional (Free trade vs Fair Trade)

Isu keadilan dalam hubungan internasional sudah banyak didengungkan. Gagasan mengenai keadilan global atau global justice ini muncul karena dipicu oleh fenomena ketidakadilan manusia atas hak-haknya, yang terjadi secara global. Untuk mengatasi ketidakadilan yang masif terjadi secara global ini pun, dibutuhkan langkah praktis yakni dengan mewujudkan norma internasional.

Norma internasional dianggap menjadi jawaban paling praktis sebagai langkah untuk menjamin keadilan bagi umat manusia secara global sehingga hak dan tanggung jawab manusia dapat lebih terjamin serta terdistribusi secara adil untuk setiap orang. Konsep global justice inilah yang menjadi dasar filosofis yang perlu direfleksikan dalam setiap kebijakan publik, baik dalam tataran negara maupun internasional.

Global Justice dalam Perdagangan Internasional (Free trade vs FairTrade)

Teori Global Justice

Teori global justice atau keadilan global terkadang diartikan secara sederhana, yakni sekedar sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan secara global. Padahal, konsep dalam teori ini sesungguhnya muncul dari pemikiran-pemikiran yang cukup rumit dari sebuah pekerjaan filsafat yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Pemicu utamanya adalah ketidakadilan dan ketidakberdayaan individu yang secara mendasar banyak terkait dalam masalah ekonomi. Liberalisasi ekonomi atau prinsip-prinsip kapitalisme yang banyak dipraktekkan negara-negara di dunia pada akhirnya seolah mengabaikan prinsip keadilan. Terlebih, antara satu negara dengan negara lain juga muncul ketimpangan yang nyata atas implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi ini.

Teori global justice berusaha untuk mengartikulasikan sejumlah hubungan antara individu dan tanggungjawab institusi, serta kewajiban-kewajiban negara apa saja yang pada masa lalu telah diabaikan sehingga kemudian dapat dipikirkan mengenai cara sebuah negara yang sebaiknya untuk mewujudkan keadilan secara global, sekaligus dengan menolong negara-negara lain yang mengalami keterbelakangan dan ketidakadilan.

Suatu negara mungkin mengalami ketidakadilan dan keterbelakangan, yang dalam hal paling nyata dapat dilihat dari kondisi ekonomi masyarakatnya yang rendah. Kesejahteraan ekonomi yang rendah ini pun pada akhirnya berimbas pada ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara general, termasuk sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan lainnya.

Dari sini, dapat dipahami bahwa teori keadilan global ini tidak bisa hanya menjadi sekedar wacana, melainkan harus diwujudkan secara nyata untuk mengubah pola ketidakadilan ini. Terjadilah transformasi dari teori keadilan global menuju norma internasional yang disepakati bersama. Norma internasional inilah yang dapat memberikan legitimasi bagi penghormatan kebebasan dan distribusi keadilan bagi setiap individu, termasuk adanya tanggungjawab yang sama.

Upaya mewujudkan teori global justice sebagai norma internasional berangkat dari pemikiran bahwa ketidakadilan merupakan fenomena kemanusiaan yang terjadi secara global. Oleh sebab itu, langkah untuk mengatasinya tidak bisa dilakukan secara pribadi melainkan harus melibatkan semua pihak.

Keadilan yang ideal (kebebasan) bagi setiap orang harus dapat dicapai karena pada dasarnya, nilai-nilai kemanusiaan universal menyatakan bahwa setiap individu adalah bagian dari warga dunia. Setiap orang memiliki posisi moral yang sama sebagai manusia, dan hal ini berlaku bagi seluruh umat. Secara moral, tidak lah relevan bila harus ada batas-batas budaya, kelompok, dan negara (Caney, 2005).

Perwujudkan Global Justice

Perwujudkan global justice dalam norma internasional secara nyata ini diawali dari momentum pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi HAM yang disepakati pada sidang umum PBB tahun 1948 ini menjadi salah satu pencapaian dalam upaya mewujudkan keadilan sebagai norma internasional.

Dengan diakuinya penegakan HAM secara internasional oleh organisasi internasional ini, maka muncul alasan bahwa satu individu bertanggung jawab atas individu lainnya. Deklarasi ini menegaskan adanya pengakuan atas hak-hak dasar setiap manusia dan tidak ada satu orang atau lembaga apapun yang berhak melanggar hak ini.

Pengakuan HAM ini sekaligus memunculkan adanya kewajiban positif dari mereka yang kaya untuk dapat turut bertanggungjawab atas terancamnya kehidupan sebagian orang yang ada di belahan bumi lain karena kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi. Asumsi ini berangkat dari pemikiran bahwa mereka yang kaya juga menjadi bagian dari sistem global yang telah melahirkan disparitas (Pogge, 2002).

Pengakuan HAM PBB ini juga menjadi refleksi secara universal bahwa adanya norma internasional sebagai upaya untuk perwujudan global justice tidak lagi terelakkan. Dengan adanya norma internasional, maka penghormatan kebebasan individu dan pemenuhan hak-hak dasar manusia dapat dilandasi oleh konsensus yang jelas

Teori global justice menaruh perhatian yang besar terhadap upaya pengakuan bersama atas nilai keadilan ini lewat institusi atau norma yang mengatur dan mengawasi secara global. Dengan begitu, akan ada jaminan terhadap standar keadilan yang merupakan instrumen inheren. Hanya dengan adanya kepatuhan yang berlaku melampaui batas-batas kedaulatan negara, maka instrumen ini dapat menjadi efektif.

Pencapaian nyata lainnya dapat dilihat dari disepakatinya pengakuan internasional atas hak-hak dasar manusia mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), serta kesepakatan internasional mengenai pengakuan hak-hak dasar mengenai hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Prinsip Keadilan Rawls

Rawls menyatakan bahwa sulitnya menjamin keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat ini karena pengambilan keputusan lebih ditentukan prinsip manfaat daripada hak. Seakan-akan keadilan dapat dikompensasi melalui keuntungan - keuntungan ekonomis atau keuntungan sosial lain.

Padahal, Rawls menegaskan bahwa harga diri manusia sesungguhnya tidak bisa diukur dengan materi. Sebaliknya, martabat manusia, ditandai dengan kebebasannya. Pandangan Rawls ini menjadi kritik atas pemikiran utilitarianisme yang cenderung mengabaikan keunikan setiap individu dan memperlakukannya sebagai bagian yang berperan untuk melayani kepuasan masyarakat secara keseluruhan.

Rawls menyatakan bahwa mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang individu demi keuntungan ekonomis yang lebih besar untuk masyarakat secara keseluruhan bukanlah hal yang adil (unfair). Inilah yang kemudian memunculkan adanya pergeseran pemikiran dari perdagangan bebas (free trade) menuju perdagangan berkeadilan (fair trade).

Sikap dasar utilitarisme dianggap bertolak belakang dengan prinsip keadilan sebagai fairness karena justru menuntut bahwa orang pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang sama sebagai landasan pengaturan kesejahteraan sosial.

Rawls beranggapan bahwa keadilan seharusnya dimengerti sebagai fairness, yang berarti tidak hanya mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati manfaat sosial lebih banyak, melainkan hal ini berlaku pula bagi kelompok dengan kemampuan terbatas.

Keuntungan yang dicapai oleh mereka yang mampu seharusnya juga dapat membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung agar dapat ikut meningkatkan prospek hidupnya. Dari sini, Rawls merumuskan dua prinsip keadilan.

Prinsip keadilan Rawls dalam tulisan aslinya berbunyi :

(1) each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all.

(2a) social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged and (2b) are attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity.

Prinsip tersebut, dapat dipahami sebagai :

(1)  Setiap orang harus mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, dengan kebebasan yang sama luasnya bagi semua orang;

(2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga (a) diharap dapat memberi keuntungan bagi setiap orang dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka secara sama bagi semua orang (Rawls, 2006: 72).

Kekuatan dari keadilan bagi Rawls terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak serta sekaligus dapat memberi prioritas pada kebebasan

Free trade vs Fair Trade

Perkembangan teori global justice pada akhirnya turut memunculkan konsep fair trade dalam perdagangan internasional. Jika awalnya yang banyak didengungkan adalah bagaimana negara-negara di dunia dapat mewujudkan free trade atau perdagangan bebas,  kini hal ini mulai dialihkan pada upaya penciptaan fair trade atau perdagangan yang adil.

Dalam perkembangannya, fair trade sempat memunculkan perdebatan karena beranggapan bahwa free trade pada dasarnya adalah suatu bentuk perdagangan yang unfair atau tidak adil. Muncul perdebatan antara negara maju sebagai pihak yang dianggap merugikan negara berkembang dengan poin permasalahan di bidang perekonomian yang menyengsarakan.

Dari perdebatan ini, diperlukan suatu konsep agar kedua pihak merasakan keadilan dari adanya perdagangan internasional, yakni melalui fair trade. Kenyataannya, banyak yang mengakui bahwa selama ini praktik perdagangan global tidak lepas dari kritik terkait adanya ketimpangan akses, terutama bagi aktor-aktor ekonomi di negara berkembang.

Aktivitas perdagangan dinilai terlalu fokus pada upaya-upaya peningkatan pendapatan sehingga memicu adanya isu eksploitasi buruh, lingkungan dan konsep ketidakadilan lainnya. Gerakan fair trade meyakini bahwa perdagangan sesungguhnya dapat berlangsung secara selaras melalui pemberdayaan buruh, pemerataan akses bagi para pelaku, dan perlindungan lingkungan.

Untuk lebih jelasnya, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai perbedaan free trade vs fair trade.

Definisi Free Trade (Perdagangan Bebas)

Perdagangan bebas adalah konsep ekonomi yang mengacu pada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, dengan melakukan penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

Pengertian perdagangan bebas lainnya juga dapat dipahami sebagai tidak adanya hambatan buatan atau hambatan yang diterapkan pemerintah, dalam melakukan perdagangan antar individu dan perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Definisi Fair Trade (Perdagangan yang Adil)

Fair Trade adalah suatu konsep perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan rasa saling menghormati, dengan tujuan untuk menciptakan keadilan, serta pembangunan yang berkesinambungan, yang dapat dilakukan melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair serta memihak hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional

Prinsip Fair Trade

Dengan berlandaskan pada keinginan untuk mewujudkan fair trade dalam perdagangan internasional sebagai bagian dari global justice, maka negara-negara dunia kemudian menyepakati adanya suatu organisasi baru yang bertujuan untuk mewujudkan fair trade. Organisasi tersebut dinamai World Fair Trade Organization (WFTO) pada tahun 2008 di Sri Lanka.

WFTO merupakan transformasi dari International Federation of Alternative Trade (IFAT) yang sebelumnya telah banyak membahas tentang konsep-konsep fair trade.

Melalui WFTO, berhasil dirumuskan 10 Prinsip Fair Trade, sebagai berikut:

  1. Principle One: Creating Opportunities for Economically Disadvantaged Producers (Menciptakan peluang bagi produsen kecil)
  2. Principle Two: Transparency and Accountability (Bersifat transparan dan bertanggung jawab)
  3. Principle Three: Fair Trading Practices (Mempraktekkan perdagangan yang tidak semata-mata mengejar keuntungan, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi produsen kecil)
  4. Principle Four: Fair Payment (Adil dalam pembayaran)
  5. Principle Five:  Ensuring no Child Labour and Forced Labour (Tidak mengeksploitasi tenaga kerja anak dan buruh)
  6. Principle Six:  Commitment to Non Discrimination, Gender Equity and Women’s Economic Empowerment, and Freedom of Association (Komitmen untuk tidak mendiskriminasi, mengutamakan kesetaraan Gender, dan kebebasan untuk berasosiasi)
  7. Principle Seven:  Ensuring Good Working Conditions (Memastikan kondisi kerja yang layak)
  8. Principle Eight:  Providing Capacity Building (Menyediakan kesempatan untuk peningkatan kapasitas)
  9. Principle Nine:  Promoting Fair Trade (Aktif mempromosikan perdagangan berkeadilan)
  10. Respect for the Environment (Menghormati lingkungan)

Referensi:

1. 2017. Fair Trade Mewujudkan Perdagangan Berkeadilan. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/13951-fair.trade.mewujudkan.perdagangan.berkeadilan, pada 14 Mei 2018.
2. Alfadh, Muhammad Faris. 2012. Keadilan Global dan Norma Internasional. Jurnal Hubungan Internasional UMY, VOL. 5 EDISI 2 / OKTOBER 2012, hal 226 – 236.
3. Beitz, Charles. 1979. Political Theory and International Relations. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
4. Luthfi, Muhammad. 2015. John Rawls dan Konsep Keadilan. Diaskses dari https://suarakebebasan.org/id/opini/item/399-john-rawls-dan-konsep-keadilan, pada15 Mei 2018.
5. Nardin, Terry. 1993. International Political Theory dalam (ed) Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan, hal. 299-300.
6. Rawls, John. 1999. The Law of Peoples: “With the Idea of Public Reason Revisited” Cambridge: Harvard University Press, bab 16.

*Penulis: Andika Drajat Murdani

Materi lain: