Feature Kota Bekasi: AKU SI PELAMUN AWAM
Sunyi merayap menyapa, langit terbelenggu tanpa cahaya, bintang gemintang membuat ribuan formasi. Aku menarik napas, menyelami keteduhan malam ini. Jangkrik yang semakin riuh bernyanyi, kesiur angin nan lembut mengusap-usap mata, ah, nyaris aku tercebur kalau tidak berpegangan mencangkumi sebatang bambu.
Rasa ngantuk berkelebat menyerangku, dan aku tiada boleh kehilangan fokus berjongkok di atas helikopter ini. Aku menongkrong sambil dibuai khayalan luar biasa. Ah, helikopter, apakah kalian tahu? Kalau tidak tahu keberadaan aku, sebaiknya memang itu kurang baik untuk diperjelas.
"Plakk!!" seekor nyamuk kurangajar menggigit bokongku. Sialan, rupa-rupanya sejak dua menit lalu aku tengah dikerubungi hewan bermulut tajam itu. Lihatlah, kini mereka tengah mendengungi telingaku.
"Plungg" suara granat terjun mencemplung. Beruntung tak menghancurkan ekosistem empang.
Belakangan ini aku sungguh bingung memikirkan persiapan lomba menulis feature. Meski aku tahu apa itu Bekasi, tapi seakan kabur maknanya bila kurancang apabila hendak kutulis. Seandainya Bekasi itu
manusia, dan ia berulang tahun, mudah bagiku ikut kontribusi merayakannya, salah satunya adalah dengan membanjuri air got seperti kebiasaan teman-temanku.
Kuceploki telur, terigu, bahkan kujejali terasi bila perlu. Aih, lamunan macam apa ini, bergetar betul hatiku jika sampai menulis hal itu. Tapi, teman-temanku pernah bilang bahwa, "Supaya kita berkesan
dalam ngerayain acara ulang tahun adalah dengan menyiksa targetnya terlebih dulu. Nah, abis itu kita kasi kejutan biar seneng."
Oh, sadis betul kata-kata itu, aku sama sekali tiada maksud menyiksamu Bekasi. Aku tak terpikir sedesispun melakukan yang temanku sampaikan itu Bekasi.
"Plungg..." granat ke dua, lebih panjang, tapi tidak sepanjang galah, berwarna hitam pekat dengan bobot kurang dari satu kilo. Aih, seram betul rupanya, mungkin ini akibat lima hari tidak buang air
besar.
Apalah yang mesti kusampaikan dalam lomba menulis ini. Pengalamanku terasa kurang, pengetahuanku seakan mentok sampai Cikarang, oh, adakah angkot yang mau membantuku menghantarkan sampai rumah Bupati. Betul-betul menguras pikiran.
Baiklah, menurut teman-temanku Bekasi itu merupakan kota Industri terbesar di Asia Tenggara. Sontak aku mengetahuinya, setengah merasa bangga dan setengahnya kecewa. Bangga karena dengan begitu Bekasi dapat dikenal mancanegara, dan kecewa karena teman-temanku itu menganggur semua.
"Terus kenapa lu ngga kerja?" tanyaku nyeleneh. Tapi tak ada jawaban, karena aku sedang bicara dengan hatiku sendiri. Oh, bagaimanalah ini, masa iya aku harus menulis panjang lebar mengenai Cikarang dan kawasan industri sementara yang dimaksud bertema '69 tahun Bekasi membangun'.
Lain halnya kata saudaraku, ia bilang,
"Bekasi itu terkenal ama julukannya sebagai Kota Jawara. Jadi menurut cerita, dulu orang-orang Bekasi selalu bawa golok kemana-mana, kebiasaanya sambung ayam, ama pandai bela diri. Makannya dibilang kota Jawara."
Dalam keadaan penuh semangat aku mendengarkannya bicara. Tapi, ah, sodaraku itu setengah percaya aku meresapi ia bercerita, bukankah itu kelakuannya sendiri selama ini.
Satu lagi yang mengganjal, "Apakah benar Bekasi itu kota Jawara?" dan bodohnya itu kupertanyakan sekarang. Oh, cemas betul memikirkan tentang Bekasi. Jalur pikiranku buntu, syaraf-syaraf otak seakan
terhambat sesuatu. Betapaku payah untuk menukil pendapat mereka.
Begitupun pendapat guruku, ia berucap.
"Bekasi itu terkenal dengan sebutan kota Patriot, karena pada saat itu para pribumi berjiwa pemberani, penentang kejahatan juga cinta tanah air." manggut-manggut aku mendengarnya.
"Plungg." aku berdiri sambil sedikit menaikan kolor, berjalan menuju rumah. Itu serangan terakhir. Selamat menikmati wahai penduduk air, maapkan kalau rasanya kurang sumbrah, aku sedang dikuntit asam pahit pemikiran.
Mau bagaimana pun juga aku harus bisa menulis tentang Bekasi. Apapun itu, membahas para penduduknya, prestasinya, juga pemerintahnya. Tapi, ah, dari mana aku harus memulainya?
Renungan di bandara itu tak jauh bedanya di toilet Sekolahku. Belum lagi kamar mandi rumahku, astaga, mengapa pula membahas hal tidak penting begini.
Sudahlah, aku terlalu naif berlama-lama merancang ide-ide yang menurutku berlian ini. Aku akan mulai menulis meskipun sangat mungkin orang menilai hanya setingkat batu kapur.
Kubuka laptop, gesit menghidupkannya, mengklik dua kali aplikasi menulis dan... mentok. Aku hanya tercenung menatap kursor yang berkedip-kedip.
Aku masih merenungi tiga pendapat dari mereka yang kuceritakan tadi. Harus kuakui Bekasi memang terkenal pabrik-pabrik industri yang tersebar luas. Banyak para urban yang berdatangan untuk mencari kerja. Mereka masing-masing berasal dari berbagai daerah.
Dengan terdapatnya kawasan industri membuat Bekasi tergolong daerah maju. Belum lagi para kaum urban yang berbondong-bondong hijrah ke daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Para investor yang menanamkan modalnya, sehingga dapat membuka lapangan kerja lebih luas lagi.
Bukankah masyarakat maju itu ditandai dengan adanya perusahaan industri dan jasa?
Beralih kepada kota Patriot dan Jawara. Oh, betapa agung dan gagahnya julukan itu. Pasti mempunyai sejarah yang gemilang. Aku bangga mengetahuinya, betapa luar biasanya kota Bekasi itu.
Namun, seiring berkembangnya teknologi dan fashion, dampak globalisasi rupa-rupanya sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat, terutama teman-temanku. Mulai dari penampilan, tingkah laku dan kebutuhan.
Perlahan-lahan budaya lokal seakan tersingkir oleh budaya luar. Dengan mudahnya mengakses informasi dan komunikasi, membuat hubungan pertemananku terasa merenggang. Dulu, ketika masih kanak-kanak, waktu bermain aku dan teman-temanku habiskan dengan seronoknya sampai lupa waktu.
Bahkan aku teringat oleh para temanku yang saat itu kena omelan orang tuanya, "Lah orang mah jangan pulang lu. Sekalian aja subuh baru pulang!"
Tapi, sekarang telah berbeda, anak-anak seusia dini sudah mempunyai bahkan pandai memainkan ponsel, jago bermain game online, selalu menonton vidio di youtube. Padahal seusia itu sedang asik-asiknya bermain demprak, hong, benteng, tok-tak dan lain-lain bersaman teman-temannya.
Tongkronganku yang dulu dipenuhi gelak tawa dan terkadang juga gibah, kini tinggallah suara-suara ponsel yang riuh berseru, 'welcome to mobile legend, has slain, first blood, triple kill, mega kil, dan kill-kill lainnya'. Sungguh naif membiarkanku macam kambing dekil lantaran tidak dimandi-mandikan pemiliknya. Dan lebih parahnya mereka seperti orang edan yang bercolet apa saja. Kopi yang diseduh tinggallah ampas, kacang dan kwaci tinggallah kulit karena kugegares semuanya.
Juga pada fashion teman-temanku, oh kalian sungguh terlalu(nada Bang Haji Roma). Mereka begitu menyukai dan selalu mendatangi distro-distro di kota-kota terdekat. Aku tidak bermaksud melaranganya, tapi yang jadi masalah gaya mereka tidak sebading dengan wajahnya. Kalau aku dikasi uang buat beli pakaian seperti mereka, aku memilih memakai Darbos saja.
Bila kukaitkan teman-temanku dengan julukan-julukan Bekasi, begitu tidak berbanding. Kalau dulu, pribumi bersusah payah mengusir penjajah dan menegakkan keadilan. Tapi, sekarang mereka berperang bahu membahu melawan musuh-musuh melalui game. Dulu, golok dan pencak silat merupakan seragam sakti untuk meraih kemenangan, dan sekarang gaya dan penampilanlah yang harus sesuai zaman.
Hingga pada kesimpulannya, semua julukan itu terasa tak menjiwaiku. Sebagai pribumi, masih banyak kekuranganku tentang sejarah tanah lahir sendiri. Buta mataku melihat dimensi pertumbuhan dan pembangunan daerah Bekasi. Tapi, satu hal yang dapat kunukil serta harus kupegang teguh saat ini dan nanti, "Kalau dulu para pahlawan menumpahkan segenap jiwa dan raga demi tanah air. Dan, tugas kita sekarang adalah mempertahankan pengaruh budaya-budaya asing yang berpotensi menyingkirkan ikon Bekasi."
Renungan demi renungan kulakukan, tak sadar kalau hari telah larut malam. Lalu aku memutuskan untuk tidur, meninggalkan laptop yang tercecer tulisan tidak bermutu itu.
*Penulis: Fikri Haikal