PANGERAN DIPONEGORO – PANGLIMA PERANG JAWA MELAWAN KOLONIALISME BELANDA

PANGERAN DIPONEGORO – PANGLIMA PERANG JAWA MELAWAN KOLONIALISME BELANDA

Sebelum menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah melalui jalan panjang untuk memperoleh kedaulatannya. Dibawah kekuasaan imperium kolonial Belanda, mengharuskan Hindia Belanda  (sekarang Indonesia) tunduk dengan segala aturan kaku penguasa.

Semakin meluasnya kekuasaan politik Barat membawa perubahan besar di Hindia Belanda. Wilayah teritorial, otonomi kekuasaan, sumber ekonomi satu persatu mulai jatuh kepangkuan Belanda. Kerajaan-kerajaan tradisional mulai tumbang. Kedaulatan diambil alih dengan cara licik oleh penguasa.

Hal tersebut ditandai dengan adanya penyempitan kekuasaan di beberapa wilayah kerajaan. Pada pertengahan abad ke 17 kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Daerah kekuasaan Mataram meliputi Jawa Barat, daerah pesisir utara Jawa, dan sejumlah daerah di Jawa Timur satu persatu berhasil diduduki Belanda.

Pada pergantian abad 18 menuju abad 19, wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram menyempit signifikan dan hanya terpusat di wilayah Yogyakarta dan Surakarta serta beberapa daerah disekitarnya. Ide licik berkedok kompromi secara halus mulai digencarkan Belanda untuk menduduki wilayah keraton. Para elit keraton mulai terpengaruh dengan permainan Belanda, seolah tidak ada ketegasan dari pihak keraton menentang kehadiran Belanda.

Ikut campur Belanda dalam urusan keraton mulai dirasakan keraton Yogyakarta. Diluar keraton kondisi semakin menyulitkan masyarakat pedesaan akibat dari penerapan sistem ekonomi yang mencekik rakyat. Rasa cemas menimbulkan pergolakan hebat dan perlawanan dari seluruh lapisan masyarakat. Keadaan seperti ini telah memaksakan terjadinya pemberontakan. Hingga terjadilah pergolakan hebat yang dipimpin oleh putra bangsawan, Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro memiliki nama asli Bendara Raden Mas Antarwirya. Lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dan kemudian wafat pada 8 Januari 1855 di Makassar. Nama Diponegoro dikenal luas karena keberaniannya dalam melawan kolonialisme Belanda. Gaya kepemimpinannya tegas dan merakyat. Kebebasan dan kemerdekaan adalah misi perjuangannya lepas dari kekuasaan Belanda.

Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, Raja ketiga Kasultanan Yogyakarta. Ibunya bernama R.A Mangkrawati seorang garwa ampeyan (selir) dari Sultan Hamengkubuwono III. Jika ditarik lagi garis keturunan Pangeran Diponegoro sampai pada Sunan Ampel Denta, Walisongo dari Jawa Timur.

Masa Kecil

Sejak kecil Pangeran Diponegoro diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng. Tinggal dilingkungan pedesaan Tegalrejo, kegiatan menanam padi sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Diponegoro juga hidup dalam lingkungan khas pesantren.

Sebagai putra keturunan ningrat dan juga ulama, tak menjadikanya canggung berkumpul dengan anak-anak di Pesantren Tegalrejo. Kemudian Diponegoro mulai memperdalam ilmu agamanya kepada Kyai Taptojani yang bermukim di dekat Tegalrejo.

Kegiatan kunjungan ke masjid-masjid sudah menjadi kebiasaan Pangeran Diponegoro untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Ia mempunyai banyak guru dan kawan di pesantren. Koneksi luas yang ia ciptakan menumbuhkan keakraban dan mendatangkan simpati kepadanya.

Perang Jawa (1825-1830)

Semenjak wafatnya Sultan Hamengkubuwono IV dan kemudian digantikan oleh Sultan Hamengkubuwono V citra keraton mulai pudar. Pasalnya pemerintahan saat itu mulai rusak. Skandal korupsi, penyalahgunaan wewenang di lingkungan keraton, dan pemerasan terhadap rakyat mulai meluas. Dukungan terhadap aksi semena-mena pemerintahan Belanda mulai terlihat dari pihak keraton.

Masuknya pemerintahan Belanda ke Jawa membebani masyarakat Jawa. Adat istiadat mulai diindahkan. Pajak dinaikkan tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat. Sikap semena-mena pemerintah Belanda ini memancing jiwa berontak Pangeran Diponegoro.

Tidak terima dengan perlakuan Belanda, Pangeran Diponegoro mulai meyiapkan kekuatan untuk menyerang Belanda. Hampir dua belas tahun lamanya Pangeran Diponegoro menyiapkan strategi untuk melancarkan aksinya.  Keadaan keraton pada saat itu telah terjadi kekosongan kepemimpinan tak dilewatkan oleh Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan.

Dukungan dari dua basis mulai melancarkan strategi yang hendak dibangun Pangeran Diponegoro. Kala itu Pangeran Diponegoro mendapat dua dukungan basis utama, yaitu dari kalangan komunitas santri dan kedaerahaan. Kedua basis utama ini dijadikan sebagai komunikator ke pendukungnya di daerah-daerah.

Peran santri sangat sentral. Mengingat perannya sebagai santri yang memiliki kewajiban untuk berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunitas ini dimanfaatkan oleh Pangeran Diponegoro untuk membangun hubungan baik para pendukungnya serta dapat merekrut masyarakat yang hendak bergabung dalam perlwananan yang ia gagas, Perang Jawa.

Pangeran Diponegoro sebagai inisiator Perang Jawa merasa telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Gua Selarong adalah markas pilihan sebagai titik kumpul upaya konsolidasi antara Pangeran Diponegoro dengan pengikutnya. Gua Selarong ini bertempat di sebuah kaki bukit kapur, jarak tempuhnya kurang lebih 9 km dari Yogyakarta.

Logistik mulai disiapkan dengan sangat jeli dan terperinci. Bangunan pabrik mesiu mulai berdiri dibeberapa tempat seperti desa Geger disebelah selatan kota Yogyakarta, daerah Gunung Kidul, dan beberapa daerah lainnya. Strategi menyebar telik sandi yang kemudian menyamar sebagai pembantu mulai menduduki kediaman orang-orang yang dianggap sebagai musuh termasuk pejabat di lingkungan keraton.

Pada pertengahan bulan Juli 1825, terjadi insiden pemancangan patok batas sebagai rencana pembebasan tanah untuk pembangunan jalan baru dan penutupan jalan masuk ke kediamannya, Tegalrejo. Hal ini membuat Pengeran Diponegoro mengambil keputusan untuk segera memobilisasi kekuatan pasukannya siap memasang badan dalam merebut kembali kedaulatan Jawa.

Selang beberapa hari kabar mengenai penangkapannya mulai terdengar dikalangan pengikut Pangeran Diponegoro. Pasukan residen dikerahkan untuk mengepung kediamannya di Tegalrejo. Pasukan Diponegoro mulai melakukan perlawanannya, namun akhirnya dalem Tegalrejo rusak dan terbakar.

Seolah tak goyah dengan prinsipnya, Pangeran Diponegoro melarikan ke Gua Selarong yang menjadi markas besarnya bersama pengikut setianya. Tujuan mendirikan negara Islam dan membebaskan Pulau Jawa dari kekuasaan Belanda semakin menyulut semangat Pangeran Diponegoro. Langkah strategis disusun untuk melancarkan perlawanannya.

Semangat perang berkobar meluas di pelosok tanah Jawa. Bahkan seorang tokoh agama di Surakarta, Kiai Maja ikut andil dalam peperangan. Strategi yang dibangun Pangeran Diponegoro rupanya meniru model Janissary Turki Ustmani pada abad ke-16.

Hierarki Turki menjadi kiblat kepangkatan pasukan yang akan dibentuk. Berikut beberapa istilah yang diadopsi :

  1. Kepangkatan Ali Pasha setara dengan Komandan Divisi, diadopsi menjadi Alibasah.
  2. Kepangkatan Pasha setara dengan Komandan Brigade, diadopsi menjadi Basah.
  3. Kepangkatan Agadulah setara dengan Komandan Batalyon, diadopsi menjadi Dulah.
  4. Kepangkatan setara dengan Komandan Kompi diadopsi menjadi Seh.

Dalam rangka menandingi strategi yang dibentuk Pangeran Diponegoro, seolah Belanda tak kehabisan strategi. Sistem Benteng yang diterapkan Belanda berhasil menjebol pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Pasukan terkepung dan para tokoh penting ditangkap.

Agenda penangkapan mulai menjadi strategi utama Belanda memenangkan pertempuran. Berbagai upaya licik dikerahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bertemu dengan Jenderal de Kok di Magelang. Paksaan  untuk segera dilakukan perundingan terus disuarakan de Kok.

Dalam pertemuan di Magelang rupanya Belanda sudah menyiapkan strategi liciknya terhadap Pangeran Diponegoro. Upaya penyergapan Pangeran Diponegoro berhasil. Kemudian hari itu juga Pangeran Diponegoro diasingkan di Ungaran dan selanjutnya dibawa ke Batavia dan ditahan di Stadhius (sekarang menjadi Museum Fatahillah). Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado, dan kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar sampai akhir hayatnya.

Selepas penahanan Pangeran Diponegoro, Perang Jawa tetap masih berlanjut. Para putra Pangeran Diponegoro melanjutkan perang. Namun perlawanan yang dilakukan berakhir tragis. Empat anaknya diasingkan ke Ambon. Sementara kedua anaknya terbunuh dalam medan pertempuran.

Catatan Pribadi Pangeran Diponegoro dalam Sejarah Indonesia

Pada masa pengasingan di Manado (1831-1832), Pangeran Diponegoro menyelesaikan sebuah naskah berbahasa arab pegon yang kini cukup familiar dikenal dengan  Babad Diponegoro. Suguhan khas sastra Jawa klasik lengkap dengan kisah menarik penuh intrik mengisahkan perjalan hidup Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa yang ia pimpin.

Menurut Prof Peter Brian Ramsey Carey, naskah Babad Diponegoro tidak ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro melainkan dia menuturkannya pada seorang juru tulis. Meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, naskah ini sebenarnya menceritakan pribadi diri dari Pangeran Diponegoro.

Dalam naskah Babad Diponegoro ketebalannya mencapai 1.170 halaman folio. Naskah ini berisi sejarah Nabi, sejarah Pulau Jawa sari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram), sekumpulan puisi semacam macapat, dan tembang-tembang Jawa.

Naskah Babad Diponegoro tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional Rotterdam, Belanda. Naskah ini baru terbit di dua negara yakni Malaysia dan Belanda. Di Malaysia, buku Babad Diponegoro yang ditulis oleh Yosodipuro II terbit dengan judul An Account of the Ooutbreak of the Java War (1825-1830).

Sebagai karya sastra pertama berbahasa jawa, Babad Diponegoro mendapat pengakuan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan  (UNESCO) pada bulan Juni 2013 sebagai Memory of The World. Warisan ini merupakan bentuk penghargaan kepada Pangeran Diponegoro sebagai bangsawan Jawa juga Pahlawan Nasional Indonesia. Dan Naskah ini ditetapkan sebagai pan-Islamis warisan dokumenter yang sekarang telah terdaftar di Perpustakaan Nasional dan Lembaga Bahasa Kerajaan Belanda.

Sumber :

1. Babad Diponegoro or Autobiographical  Chronicle of Prince Diponegoro (17855-1855). A Javanese nobleman, Indonesian, national hero and pan-Islamist, Diakses dari http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/memory-of-the-world/register/full-list-of-registered-heritage/registered-heritage-page-1/babad-diponegoro-or-autobiographical-chronicle-of-prince-diponegoro-1785-1855-a-javanese-nobleman-indonesian-national-hero-and-pan-islamist/
2. ‘Babad Diponegoro’ yang Legendaris Terbit di Malaysia dan Belanda, Tapi di RI Tak Ada, Diakses dari https://www.m.detik.com/news/berita/d-2674720/babad-diponegoro-yang-legendaris-terbit-di-malaysia-dan-belanda-tapi-di-ri-tak-ada
3. Biografi dan Profil Lengkap Pangeran Diponegoro – Pahlawan Nasional yang Memimpin Perang Diponegoro, Diakses dari https://www.nfobiografi.com/tag/biografi-pangeran-diponegoro-pdf/
4. K. Mustarom. 2014. Negara Islam Tanah Jawa Cita-Cita Jihadis Diponegoro. Diakses dari www.syamina.org
5. Surjo, Djoko. 2013. Kepemimpinan Pangeran Diponegoro dalam Perspektif Sejarah, Diakses dari https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal -humaniora/article/view/2091/1890
*Penulis: Tiara Sari