Neo Klasik: Sejarah dan Pokok Pemikiran Ekonomi Politik
Kemunculan abad rennaisance telah memunculkan para pemikir baru dalam bidang ekonomi politik dunia. Setelah kemunculan paham liberal atau klasik, muncul para pemikir marxis yang mendasarkan pemikirannya pada kritikan - kritikan atas pemikiran kaum klasik.
Namun, pemikiran kaum marxis ini berikutnya juga harus menghadapi kritik dari para pemikir lain. Ketika abad ke-19, muncul kaum neo-klasik yang melontarkan kritiknya terhadap teori marxis.
Sejarah Kemunculan Teori Neo Klasik
Semenjak didengungkan, pemikiran Marx dan Engels memang tidak bebas dari penolakan para pemikir. Bahkan, teori yang dikembangkan oleh Marx dan Engels ini juga mendapatkan penolakan dari kaum sosialis sendiri, dan ditambah dengan penolakan dari kaum liberal-kapitalis.
Adapun para pemikir ekonomi dari kaum liberal lalu dimasukkan dalam suatu kelompok pemikir ekonomi yang disebut teori Neo-Klasik. Disebut sebagai neo klasik atau teori klasik baru, karena pemikiran-pemikiran kaum neo-klasik ini juga sekaligus merupakan pembaruan dan pembelaan terhadap pemikiran kaum klasik dalam menanggapi kritikan kaum marxis.
Para pakar neo klasik kala itu berusaha mengkaji ulang tentang pokok pikiran teori Klasik yang dikritik oleh Marx, yakni dalam hal nilai kerja dan tingkat upah. Tingkat upah dan nilai kerja dianggap oleh Marx sebagai penyebab utama yang akan meruntuhkan kejayaan kaum kapitalis.
Beberapa pakar yang berusaha melakukan penelitian yakni W. Stanley Jevons, Leon Walras, Karl Menger dan Alfred Marshall. Keempat pakar ini melakukan penelitian mengenai hal yang sama, yakni teori nilai lebih dari Marx.
Dalam teori nilai lebih Marx (surplus value), diasumsikan bahwa usaha para kapitalis untuk mendapatkan laba setinggi mungkin akan menekan para buruh. Tekanan yang besar terhadap buruh akan membuat buruk memberontak dan menggulingkan para kapitalis. Pada akhirnya, kekuasaan pemerintahan akan dipegang oleh para buruh. Proses ini diyakini Marx akan terjadi secara otomatis dan akan menjadi tanda keruntuhan bagi kaum kapitalis.
Berdasarkan asumsi di atas, keempat pakar tersebut membuat penelitian secara terpisah dengan landasan teori-teori ekonomi. Lalu, kesimpulan yang mereka dapatkan rupanya sama. Dalam penelitian mereka, didapatkan bahwa teori surplus value Marx tidak mampu menjelaskan tentang nilai komoditas (modal) ini secara tepat.
Alhasil, kesimpulan ini meruntuhkan seluruh bangunan teori sosialis yang dikembangkan Marx dan Engels, serta mengembalikan kekokohan sistem kapitalis. Hal ini sekaligus menyelamatkan para kapitalis dari kemungkinan krisis.
Selain itu, para pakar ekonomi Neoklasik juga menolak kritikan Marx mengenai asumsi mekanisme pasar. Marx mengklaim bahwa pemikiran kaum klasik mengenai mekanisme pasar yang bisa berjalan dengan sendirinya, yang pada akhirnya akan mengarah pada keseimbangan tanpa harus ada campur tangan pemerintah, adalah keliru.
Pemikir Neoklasik memang mengakui bahwa ekonomi memang tidak selalu bisa berjalan mulus secara alami, dan tidak bisa selalu menuju keseimbangan secara otomatis. Akan tetapi, kaum Neoklasik lebih tidak setuju jika harus mengabaikan keberadaan mekanisme pasar serta menyerahkan segalanya kepada pemerintah.
Bagi Neoklasik, kelemahan pasar dan ketidaksempurnaan pasar dapat diatasi oleh pemerintah, dan memang pemerintah seharusnya campur tangan dalam hal ini. Akan tetapi, batasan campur tangan pemerintah dalam hal ekonomi ini hanya sebatas memperbaiki distorsi yang berlangsung dipasar, dan bukannya malah menggantikan fungsi mekanisme pasar itu sendiri.
Hubungan Teori Klasik dan Neo-Klasik
Menurut pada sejarahnya, teori klasik dan neo-klasik pada dasarnya saling berhubungan. Keduanya memang memiliki persamaan, yang letak persamaan tersebut adalah pada pandangan bahwa kegiatan ekonomi merupakan sebuah sistem yang berdiri sendiri.
Hanya saja, kaum neo-klasik melakukan pembaruan dalam teori Klasik dengan menggunakan sifat utilitarian untuk menjawab pertanyaan terkait sifat dan tujuan dari ekonomi pasar. Para pemikir neo-klasik, beranggapan bahwa “ekonomi” adalah transaksi-transaksi swasta yang terjadi guna memaksimalkan kegunaan yang diperoleh individu. Adapun “politik” dianggap sebagai penggunaan kewenangan publik untuk mencapai tujuan ekonomi tersebut.
Dua Generasi Aliran Neoklasik
Para pemikir neoklasik secara sederhana dapat dibagi ke dalam dua kelompok aliran, yakni aliran generasi pertama dan generasi kedua. Kedua aliran ini dibedakan dari sudut pandangnya dalam melihat teori yang dicetuskan kaum Klasik.
Aliran Neoklasik generasi pertama lebih banyak mengarahkan usahanya dalam memperbaiki teori-teori yang dicetuskan kaum Klasik. Akan tetapi, mereka masih mempercayai anggapan kaum Klasik terkait prinsip pasar persaingan sempurna dan anggapan bahwa ekonomi akan selalu menuju pada keseimbangan.
Adapun aliran neoklasik generasi kedua lebih banyak menolak pandangan kaum Klasik, terutama dalam hal pasar persaingan sempurna Adam Smith. Mereka beranggapan bahwa dalam kehidupan nyata, asumsi-asumi kaum Klasik banyak terlanggar karena berbagai faktor yang dapat mengakibatkan pasar berjalan tidak sempurna.
# Neoklasik Generasi Pertama
Neoklasik Generasi Pertama masih dibedakan lagi dalam dua kelompok, yakni (1) kelompok ekonomi Austria (The Classical Liberal Perspectives), dan (2) kelompok ekonomi Cambridge (The Modern Liberal Perspective).
Kelompok pertama generasi pertama banyak menelaah terkait teknik-teknik matematika, seperti kalkulus. Pakar neoklasik dalam mazhab Austria ini mengembangkan pembahasan ekonomi yang bersifat mikro. Mereka jugalah yang memisahkan istilah political economy, sehingga ilmu ekonomi dapat berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Sedangkan kelompok kedua generasi pertama Neoklasik memiliki pendekatan yang berbeda. Kelompok Cambride yang salah satunya adalah Alfred Marshall lebih banyak memperhatikan nasib kaum marginal.
Marshal beranggapan bahwa ilmu ekonomi politik seharusnya bisa menjadi sarana untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, sekaligus sebagai motor penggerak dalam mengungkap kebenaran guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan.
# Neoklasik Generasi Kedua
Pakar Neoklasik generasi kedua mulai bermunculan pada tahun 1930-an. Mereka adalah Piro Srafa, Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin. Menurut para pakar ekonomi Neoklasik, pasar tidak hanya berupa pasar persaingan sempurna seperti yang diasumsikan oleh kaum Klasik. Tidak ada mekanisme pasar yang mutlak dapat membawa pasar dalam sebuah persaingan sempurna hingga otomatis mencapai titik keseimbangannya sendiri.
Para pakar Neoklasik berasumsi bahwa sangat mungkin terjadi pasar persaingan tidak sempurna, seperti kompetisi, monopoli, oligopoli, monopsoni dan sejenisnya. Kemungkinan terjadinya ketidaksempurnaan pasar ini karena asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang bisa saja terlanggar.
Sebagai contoh, jumlah penjual dan pembeli, produk yang homogen, perusahaan yang bebas keluar masuk pasar, serta informasi sempurna, dan sebagainya yang tidak selalu terkondisi sesuai dengan asumsi pasar persaingan sempurna. Jika asumsi-asumsi ini terlanggar, maka pasar tidak lagi beroperasi dalam bentuk pasar persaingan sempurna, melainkan dalam bentuk pasar persaingan tidak sempurna.
Hal ini menjadi perbedaan paling mencolok dari ekonomi Neoklasik dengan ekonomi Klasik. Ketika pasar terjadi dalam bentuk persaingan tidak sempurna, maka menurut pakar Neoklasik, hal ini menjadi peluang bagi tindakan politik untuk ikut campur. Pada kondisi ini, pemerintah perlu ‘mengoreksi’ ketidaksempurnaan yang terjadi dalam pasar.
Para pakar Neoklasik menyatakan bahwa pemerintah perlu berperan dalam mengarahkan perekonomian ke arah ideal agar pasar dapat berfungsi layaknya pasar persaingan yang sempurna. Namun, campur tangan pemerintah ini ditegaskan hanya pada proses dan keputusan politik terkait perbaikan pasar.
Hal ini seperti yang ditegaskan Caporaso & Levine (1993), bahwa ‘when the market fails, it is the function of the political process to carry out the mission of the market by other means”.
Akan tetapi, pakar Neoklasik sama sekali tidak membahas tentang perlunya campur tangan pemerintah dalam masalah-masalah sosial, seperti redistribusi pendapatan, pemberantasan kemiskinan, kesenjangan sosial, perbaikan tingkat kesehatan masyarakat, memajukan pendidikan, isu –isu lingkungan, dan sejenisnya.
Hal yang lebih banyak dibahas para pemikir Neoklasik ini adalah persoalan eksternalitas, barang publik serta pasar persaingan tidak sempurna secara umum. Proses politik yang diusulkan untuk dilakukan pemerintah salah satunya dengan menetapkan larangan terhadap aktivitas yang menimbulkan eksternalitas itu sendiri.
Selain itu, bisa juga dengan melakukan pajak bagi aktivitas yang menimbulkan eksternalitas negatif, pemberian subsidi bagi aktivitas dengan dampak positif, serta penggunaan hak kepemilikan. Sedangkan jika permasalahan terkait barang publik, maka pemerintah bisa mengambil alih pengadaannya.
Berbagai peran pemerintah ini harus dilakukan guna menjaga pasar tetap berfungsi layaknya pasar persaingan sempurna. Sebab, adalah hal yang logis jika perusahaan berusaha mencapai laba maksimum dengan menggunakan berbagai macam cara. Perusahaan mungkin akan berusaha mempengaruhi harga dan output dengan melakukan monopoli, menguasai teknologi, serta menguasai modal dan finansial untuk kelompok sendiri.
Ajaran Neoklasik dari Paul Samuelson
Mubyarto (2002) menjelaskan bahwa sejak Perang Dunia II, ilmu ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia dirintis oleh buku tulisan Paul Samuelson yang berjudul “Economics An Introductory Analysis ( MIT, 1946)”
Buku ini seolah jadi rujukan dalam berbagai kajian pemikiran dan praktik kegiatan ekonomi politik, terutama dalam kajian ekonomi, di berbagai belahan dunia. Adapun ajaran utama yang dikemukakan oleh Samuelson dalam bukunya tersebut dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik.
Ajaran ekonomi Neoklasik dari Samuelson ini adalah sintesis antara teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), beserta ajaran marginal utility serta keseimbangan umum.
Ajaran Neoklasik dijabarkan sebagai bentuk mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, yang akan selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang.
Ajaran Samuelson bahkan begitu banyak dielu-elukan dan seolah menjadikan ilmu ekonomi seperti berfungsi sebagai agama. Kutub akhir dari kegiatan ekonomi pada intinya adalah efisiensi pasar. Ajaran ini semakin banyak menjadi sorotan karena negara –negara yang menerapkan ajaran Samuelson ini menjadi semakin maju.
Alhasil, timbullah keyakinan masyarakat umum yang beranggapan bahwa “Tuhan berpihak kepada kami” dan pasar juga telah “diberkati” oleh Tuhan. Hal ini membuat setiap kegiatan yang baik diasumsikan sebagai sesuatu yang efisien, sedangkan hal yang tidak efisien tidak baik sehingga harus disingkirkan.
Keynesian dan Kritik atas Neoklasik
Sejak ajaran Neoklasik berkembang, banyak negara yang menerapkannya di negaranya. Tidak sedikit negara yang kemudian mengalami perkembangan ekonomi cukup pesat setelah mengimplementasikan ajaran-ajaran Neoklasik ini di negaranya. Akan tetapi, lambat laun, hal yang awalnya positif tidak dapat terus bertahan.
Tahun 1930-an, Amerika Serikat yang juga menerapkan ajaran Neoklasik mengalami kegagalan ekonomi yang cukup mencengangkan dunia. Ekonomi Amerika Serikat, tepatnya di bursa saham, dilanda depresi secara besar-besaran.
John Maynard Keynes (1883-1946), seorang ekonom Inggris, berusaha untuk mengkaji krisis besar yang melanda Amerika Serikat ini. Keynes sampai pada kesimpulan bahwa depresi ekonomi yang dialami Amerika Serikat terjadi akibat permintaan agregat yang jauh lebih kecil dibanding penawaran agregat.
Hal ini mengakibatkan ekonomi berada pada posisi keseimbangan yang rendah (low level equilibrium). Hal inilah yang kemudian membuat Keynes mengkritisi sistem self regulation dalam ekonomi pasar seperti yang dianut oleh kaum Klasik dan Neoklasik.
Untuk menghadapi masalah ini, Keynes menawarkan solusi, yang salah satunya adalah dengan melakukan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. Artinya, pemerintah harus mengambil peran yang jauh lebih luas lagi dalam hal ekonomi, salah satunya dalam pengambilan kebijakan fiskal.
Sebagai contoh, pemerintah bisa mengambil peran di pasar uang dengan cara memperhatikan faktor ekspektasi selain tingkat suku bunga. Di pasar tenaga kerja, pemerintah bisa bertindak dalam menetapkan kebijakan upah minimum. Ajaran-ajaran Keynes ini selanjutnya dikenal sebagai ajaran Keynesian.
Secara prinsip, Neoklasik dan Keynesian sama-sama memiliki pandangan bahwa pasar tidak beroperasi sesuai asumsi persaingan sempurna, layaknya yang diasumsikan kaum Klasik. Hanya saja, Keynesian melihat ketidaksempurnaan pasar ini dengan kaca mata yang jauh lebih parah dari pada kaum Neoklasik.
Kaum Neoklasik mengharapkan campur tangan pemerintah sebatas dalam mengatasi kegagalan pasar. Keynesian, mengharapkan adanya campur tangan pemerintah yang jauh lebih besar dari itu. Pemerintah harus bisa terlibat dalam mengatasi berbagai kelemahan sistem pasar persaingan sempurna, serta menaruh perhatian lebih kepada kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung seperti kaum miskin, bodoh, lemah, papa.
Keynesian juga menganjurkan pemerintah untuk menaruh perhatian terhadap usaha-usaha mencapai pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pada intinya, ajaran Keynesian menyatakan perlunya campur tangan pemerintah yang semakin luas dan semakin kuat dalam aktivitas ekonomi politik masyarakat, termasuk dalam hal sosial.
Ajaran-ajaran Keynesian ini rupanya banyak mendapat sambutan dari berbagai negara di dunia. Tahun 1960-an, ajaran Keynesian bahkan telah banyak berkembang dan diimplementasikan di negara-negara berkembang yang baru memerdekakan diri. Pemerintah di negara berkembang diharapkan mampu mengambil peran dalam mengantarkan masyarakat ke arah kesejahteraan, sebagai agen pembangunan.
Dampak ajaran Keynesian ini sangat terlihat dari keterlibatan pemerintah yang semakin besar dalam hal perekonomian. Bahkan, sejak tahun 1960-an hingga saat ini, pemerintah di seluruh dunia banyak yang terlibat aktif dalam merancang kebijakan-kebijakan, seperti :
- kebijakan ekonomi seperti kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan internasional;
- pembuatan aturan dan undang-undang terkait bisnis untuk memerangi praktik bisnis yang tidak adil;
- undang-undang ketenagakerjaan dan perburuhan untuk melindungi buruh;
- undang-undang perlindungan konsumen dari praktik bisis yang merugikan konsumen;
- undang-undang pelestarian dan perlindungan lingkungan;
- HAM dan sejenisnya;
- penciptaan iklim usaha yang kondusif;
- terlibat sebagai pelaku ekonomi, seperti lewat BUMN/ BUMD (Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah).
Jika melihat berbagai anjuran dari Keynesian, maka akan tampak adanya kemiripan dengan sosialisme, yang begitu banyak melibatkan pemerintah dalam hal ekonomi. Akan tetapi, harus secara jelas dilihat bahwa ajaran Keynesian ini sama sekali berbeda dari sosialisme.
Keynesian justru sering dimasukkan dalam golongan pemikiran Neoklasik, yang berusaha merevisi ajaran kaum Klasik dengan memasukkan peran pemerintah. Otoritas publik atau pemerintah semakin banyak mengambil alih fungsi yang awalnya dilaksanakan oleh pasar. Kondisi ini bisa diasumsikan bahwa urusan ekonomi kini menjadi urusan politik.
Akan tetapi, perlu pula dipahami bahwa ekonomi politik Keynesian ini bukan upaya mempolitikkan ekonomi, dan meletakkan politik sebagai paradigma utama di atas ekonomi. Ajaran ini bagi Keynesian adalah upaya untuk mendorong pemikiran terkait sifat-sifat khusus dan keterbatasan pasar.
Bagi Keynes, kegagalan pasar tidak harus dilihat sebagai masalah politik. Keynes melihat permasalahan keterbatasan pasar ini sebagai hal yang membutuhkan penanganan bersama, yang secara kebetulan harus melibatkan proses politik ini (Caporaso, Levine, 1993).
Referensi:
- Coporaso, James dan David Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
- 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
- Sulistyo, Ponco Budi. 2017. Modul Perkuliahan VII Ekonomi Politik Media. Universitas Mercu Buana.
Materi lain: