Teori Liberalisme: dari Sejarah hingga Ide Pokok dalam Ekonomi Politik

Liberalisme akan selalu menjadi perbincangan menarik dalam konteks ekonomi politik, baik secara lokal maupun global. Sejak masa kemunculannya di era Renaissance, liberalisme telah mengambil tempat spesial dalam berbagai kajian para pemikir.

Teori Liberalisme: dari Sejarah hingga Ide Pokok dalam Ekonomi Politik

Ide –ide dalam liberalisme pun terus menyubur dan mendapatkan banyak pendukung. Hingga saat ini pun, liberalisme masih dianggap sebagai paham yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi politik global.

Lantas, seperti apa pengertian liberalisme, bentuk liberalisme, ide pokok liberalisme, dan bagaimana pula praktek serta imbas liberalisme terhadap ekonomi dan politik terhadap negara –negara di dunia ini? Berikut kita akan menyajikan ulasannya.

Sejarah Liberalisme

Jaman Renaissance yang berlangsung sekitar abad ke 16 sampai awal abad 19, menjadi jaman pencerahan yang menandai kehadiran ide –ide liberalisme yang dikenal saat ini. Renaissance sendiri merupakan momentum awal dari lunturnya kekuasaan gereja yang begitu mendominasi keseluruhan aspek kehidupan manusia kala itu. renaissance sekaligus menjadi penanda dari berakhirnya abad pertengahan.

Gereja memiliki otonomi yang dianggap terlalu besar. Individu –individu benar –benar berada dalam batasan –batasan yang begitu mengikat sehingga tidak ada kebebasan untuk bertindak. Tidak ada yang namanya otonomi individu.

Pada akhirnya, muncul reaksi pertentangan terhadap skema ortodoksi religius ini. Berbagai kalangan mulai mengajukan kritiknya. Mereka ingin agar individu memiliki otonomi dalam setiap tindakan dan pilihan hidupnya sendiri.

Otonomi individu yang dimaksud adalah keterbebasan dari determinasi dan intervensi eksternal, termasuk pembatasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk ancaman serta manipulasi dalam melakukan tindakan.

Selain itu, sejarah kemunculan paham liberal ini juga banyak didorong oleh ketidakpuasan terhadap merkantilisme. Kaum merkantilis yang mematok kesejahteraan dengan standar logam mulia dianggap tidak relevan, sehingga dibutuhkan konsep yang lebih baik dalam mengejawantahkan kesejahteraan ini.

Kaum liberal muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kaum merkantilis. Peran pemerintah dalam merkantilisme dianggap terlalu mengikat kebebasan individu. Dalam merkantilisme, pemerintah memiliki tugas penting untuk memastikan kesejahteraan negara dengan memupuk logam mulia.

Pemerintah mengatur berbagai regulasi demi memastikan praktek merkantilisme ini berjalan sebagaimana mestinya. Namun, hal ini dianggap hanya menguntungkan segelintir orang saja, sementara banyak individu lain, justru dibatasi pergerakannya, terutama dalam hal usaha meraih kesejahteraan individu.

Tokoh –Tokoh Liberalisme

Kajian ekonomi politik mengenai liberalisme sendiri banyak yang mengacu pada buku –buku tulisan Adam Smith. Salah satu bukunya yang paling banyak dirujuk adalah Buku berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” atau yang juga sering disebut “The Wealth of Nations” terbitan tahun 1776.

Dalam buku ini, dijelaskan secara detail mengenai hukum –hukum sebab akibat yang menjelaskan mengenai cara mencapai kesejahteraan. Dijelaskan pula tentang aktor –aktor ekonomi dan implikasi hukum-hukum ekonomi bagi masyarakat dan negara.

Di dalamnya, terdapat pula perspektif ekonomi politik yang menjelaskan tentang konsep kekayaan (wealth), pembagian kerja (division of labor), khuluk manusia (nature of men), mekanisme pasar (market mechanism), dan juga paham liberalisme (liberalism) itu sendiri  (Deliarnov; 2006; 24).

Buku Adam Smith tersebut sering dianggap sebagai buku ekonomi politik paling fenomenal dan banyak dirujuk dalam sejarah pemikiran ekonomi politik dunia. Padahal, buku Adam Smitih ini sebetulnya bukan buku ekonomi politik klasik yang muncul pertama kali.

Sebelumnya, sudah ada buku tulisan James Stuart tahun 1767, yang berjudul “An Inquiry into the Principles of Political Economy”. Buku yang sudah terbit sembilan tahun sebelum buku Adam Smitih inilah yang dketahui sebagai buku pertama yang membahas tentang kajian ekonomi politik.

Selain dua tokoh ini, ekonomi politik sendiri banyak memunculkan tokoh –tokoh lain, seperti Robert Malthus, David Ricardo, John Stuart Mill, yang banyak menyumbangkan ide dan pemikirannya mengenai liberalisme pada akhir abad ke-18.

Robert Malthus menuliskan buknya berujudul “Principles of Political Economy” yang terbit pertama kali tahun 1920. Lalu disusul dengan buku berjudul “Definisions of Political Economy” tahun 1927.

Adapun James Mill dan John Stuart Mill yang merupakan ayah dan anak, juga mencetuskan buku mereka berjudul “The Elemen of Political Economy”. Kabarnya, buku ini ditulis oleh sang ayah dan diedit oleh anaknya saat berusia 13 tahun. Kemudian, J.S. Mill sendiri juga banyak menulis buknya sendiri.

Perkembangan Liberalisme

Sejarah paling awal mengenai konsep kebebasan individu ini sebetulnya pernah hadir ketika masa Yunani Kuno, dan menjadi salah satu elemen terpenting peradaban Barat. Namun, catatan awal perkembangan liberalisme sendiri terjadi sekitar tahun 1215, di saat  Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta.

Dokumen Magna Charta berisikan hak-hak yang diberikan oleh raja kepada para bangsawan bawahannya. Dengan adanya Charta ini, maka kekuasaan Raja John sendiri secara otomatis menjadi terbatas. Piagam inilah yang kemudian dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism).

Namun, perkembangan liberalisme yang paling banyak terjadi adalah pada masa renaissance. Momentumnya adalah pada The Glorious Revolution of 1688. Dalam revolusi tersebut, terjadi penurunan kekuasaan dari Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland), dan digantikan dengan pengangkatan William II dan Mary II sebagai raja.

Kemudian, satu tahun setelah revolusi tersebut, parlemen Inggris menyetujui undang-undang hak rakyat atau yang dinamai “Bill of Right”. Dengan adanya Bill of Right ini, maka beberapa kekuasaan raja pun dihapuskan, dan mulai diberlakukan pula jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.

Pandangan tentang kebebasan ini kemudian menjadi semakin ramai karena secara bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mulai mempromosikan tentang ajarannya bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar (natural right), yang tidak boleh dirampas. Adapun hak-hak dasar yang dimaksud oleh John Locke adalah hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara.

Ide –ide ini ia tuliskan di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690). John Locke menyatakan bahwa tugas utama pemerintah sebetulnya adalah untuk menjamin hak-hak dasar individu, dan jika ia tidak menjaga hak-hak dasar itu, maka rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.

Sejak dikumandangkan, John Locke memiliki banyak pendukung. Ajaran liberalisme pun terus mengalami perkembangan. Hingga di abad ke-20, setelah berakhirnya perang dunia pertama tahun 1918, ide –ide kebebasan ini mulai diadaptasi dalam prinsip pemerintahan demokrasi.

Beberapa negara Eropa menerapkannya dalam skema prinsip pemerintahan demokrasi di negaranya. Dalam prinsip demokrasi tersebut, kaum perempuan memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya dalam pemerintahan.

Liberalisme kemudian terus menunjukkan perkembangannya secara santer. Hingga di tahun 1930-an, ide liberalisme tidak hanya diaplikasikan dalam kebebasan berpolitik saja, melainkan juga diterapkan dalam berbagai bidang lain, seperti : ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.

Presiden Franklin D. Roosevelt juga merupakan salah satu tokoh yang mendukung paham liberalisme. Ia mengamalkannya dalam sebuah deklarasi empat kebebasan di tahun 1941, yakni meliputi :

  1. kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech),
  2. kebebasan beragama (freedom of religion),
  3. kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan
  4. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan “Universal Declaration of Human Rights”. Dalam Deklarasi HAM PBB tersebut, disebutkan adanya sejumlah hak politik, yang ditambah dengan hak ekonomi dan sosial.

Pengertian Liberalisme

Dari segi etimologi, liberalisme berasal dari bahasa Latin, “liber” yang berarti “bebas” dan “bukan budak” atau keadaan seseorang yang bebas dari kepemilikan orang lain. Kata “-isme” sendiri berarti paham. Sehingga liberalisme bisa diartikan sebagai suatu paham yang didasari dengan konsep kebebasan.

Secara harfiah, makna liberal ini berarti “bebas dari batasan” (free from restraint). Sebab, jika menilik pada kemunculan liberalisme pasca abad pertengahan, maka liberalisme ini menawarkan adanya konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja, yang sebelumnya mendominasi seluruh segi kehidupan manusia (Adams, 2004: 20).

Liberalisme memandang bahwa individu memiliki hak atas tindakan dan pilihannya sendiri. Sederhananya, manusia hidup secara bebas dalam kehidupannya. Manusia merupakan pribadi yang otonom.

Ide Pokok Liberalisme secara Umum

Jika melihat ide pokok liberalisme secara luas, maka kita bisa membagi ide pokok ini ke dalam dua golongan, yakni liberalisme yang dipelopori oleh John Locke dan liberalisme yang dipelopori Jean Jacques Rousseau.

Menurut John Locke, kebebasan yang menjadi nilai dasar liberalisme adalah bentuk ketidakhadiran intervensi eksternal dalam aktivitas-aktivitas individu. Karena kebebasan adalah hak properti privat, maka pemerintah bersifat terbatas terhadap kehidupan warganya.

Dalam hal ini, peran negara adalah membentuk aturan hukum yang jelas dan lengkap demi menjamin kebebasan sebagai hak properti privat. Corak liberalisme inilah yang kemudian menjadi dasar dari kemunculan ide libertarianisme yang dipelopori oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek dan Robert Nozick.

Sementara di sisi lain, ide pokok liberalisme yang lain adalah yang dipelopori oleh JJ Rousseau. Rousseau berpendapat bahwa pemerintah harus tetap mengambil peran dalam menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam masyarakat. Corak liberalisme ini kemudian menjadi dasar dari kemunculan liberalisme egalitarian, yang digawangi oleh John Rawls dan Ronald Dworkin.

Perbedaan mendasar dari liberalisme dan libertarianisme terletak pada pandangan tentang kebebasan individu. Libertarianisme berpandangan bahwa kebebasan yang menjadi hak individu adalah satu bentuk properti privat, sehingga tidak seorang pun atau apa pun bisa merampas dan mencabutnya dari seseorang, tanpa dianggap melanggar hak orang tersebut.

Adapun liberalisme memandang kebebasan individu tidak dapat dikorbankan untuk nilai yang lain, untuk nilai ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya bisa dibatasi serta dikompromikan ketika terjadi konflik dengan kebebasan dasar lain yang lebih luas. Sehingga kebebasan menurut liberalisme bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.

Perlu dipahami bahwa ide pokok liberalisme yang paling utama adalah konsep otonomi individu. Dalam pandangan liberalisme, individu memiliki kebebasan yang sangat luas, termasuk dalam hal bertindak, memilih cara hidup yang baik, juga untuk mengkritisi, merevisi dan bahkan meninggalkan nilai dan cara hidup yang sudah dipilihnya.

Tidak ada hal yang salah dan benar. Liberalisme beranggapan bahwa siapa pun dapat keliru dalam mengambil pilihan hidupnya, dan ini bebas dilakukan siapa pun selama nilai dan pilihan hidup tersebut yang ia yakini.

Oleh sebab itu, otonomi individu tidak harus tunduk terhadap keanggotaannya pada suatu kelompok tertentu, termasuk pada kelompok agama, etnis dan sebagainya. Indivudu bebas untuk tetap berada atau menarik diri dari kelompok yang ia yakini (Aida, 2015 : 95-97).

Ide pokok liberalisme ini kemudian menjadi sebuah makna bebas yang tercermin dalam sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat dalam bentuk kebebasan berfikir (The old Liberalism), dan kemudian terus berkembang hingga mempunyai berbagai makna dalam berbagai aspek.

Jadi, bisa dikatakan bahwa liberalisme menjadi suatu paham yang menyebar luas dalam berbagai ranah kajian. Dalam kajian politis, pengertian liberalisme mengarah pada suatu ideologi politik yang berpusat pada individu, yang dianggap memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk dalam hal persamaan hak untuk dihormati, hak berekspresi dan bertindak, serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).

Liberalisme dalam konteks sosial mengarah pada suatu etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C. A. J. Distributive Justice).

Sedangkan liberalisme Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, sebagai paham ekonomi dan politik adalah paham yang menekankan pada tiga hal, yakni kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).

Ide Pokok Liberalisme dalam Skema Ekonomi Politik

Dalam ekonomi politik, liberalisme termasuk salah satu grand theory yang acap kali digunakan untuk menelusuri paradigma dan memahami fenomena ekonomi politik nasional maupun internasional.

Namun, perlu diketahui bahwa sekalipun liberalisme sering digunakan dalam kajian ekonomi politik, namun kaum liberal sendiri menyatakan bahwa teori liberal ini sebetulnya tidak terdapat dalam studi ekonomi politik. Kaum liberal menolak adanya teori dan kebijakan yang menyangkutpautkan antara ekonomi dan politik. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah kemunculan liberalisme di abad ke-16 dan 17 di Eropa, yang merupakan kritik atas teori merkantilisme (Jackson & Sorensen, 1999; 234).

Bagi kaum liberal, pasar adalah suatu sistem atau mekanisme ekonomi yang dapat mengatur diri mereka sendiri (self-regulating mechanism), sehingga tidak membutuhkan campur tangan politik (dalam hal ini pemerintah). Keyakinan inilah yang membuat kaum liberal merasa bahwa ekonomi dan politik adalah dua hal yang sama sekali terpisah.

Salah satu prinsip dasar yang sangat populer dalam pemikiran liberalisme adalah prinsip laissez-faire. Laissez-faire adalah frasa dalam bahasa Perancis yang berarti “biarkan terjadi” atau secara harafiah “biarkan berbuat”.

Istilah yang pertama kali digunakan oleh para psiokrat abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan ini kemudian menjadi salah satu prinsip dari liberalisme yang dikembangkan oleh Adam Smith. Laissez-faire juga menjadi sinonim dari ekonomi pasar bebas yang berlangsung selama abad pertengahan abad ke-19.

Pada intinya, liberalisme ingin agar membiarkan saja segala sesuatunya terjadi, dan membiarkan posisi negara berada pada peran yang sangat minimal (minimal state). Negara harus membiarkan individu untuk bebas.

Hal ini juga berarti bahwa kaum liberal menolak adanya keyakinan bahwa ekonomi dan politik adalah dua hal yang saling terpadu dan berhubungan satu sama lain. Pandangan kaum liberal ini berangkat dari penolakannya terhadap pandangan kaum merkantilis yang meyakini bahwa ekonomi dan politik pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, dengan meletakkan kekuatan ekonomi sebagai pondasi dasar bagi kekuatan politik suatu negara, dan begitu pula sebaliknya (Jackson & Sorensen, 1999; 232).

Namun, para ahli ekonomi politik internasional justru tertartik terhadap fakta dunia ekonomi yang dianggap memiliki dampak cukup besar terhadap dunia politik, seperti dalam hal power, values, dan otonomi politik masyarakat nasional (Gilpin, 2001; 77).

Di dalam liberalisme, kita akan mendapati serangkaian doktrin dan prinsip dalam mengorganisasi dan mengatur pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan. Pada intinya, kaum liberal percaya bahwa pasar dapat berjalan menurut mekanisme atau “hukum”-nya sendiri  secara spontan (Jackson & Sorensen, 1999; 235).

Hanya saja, bahwa kaum liberal mengakui adanya pengaruh dari kekuatan ekonomi terhadap power suatu negara. Negara dengan ekonomi kuat, dapat meningkatkan power yang dimiliki. Selain itu, kaum liberal juga berpandangan bahwa ekonomi internasional dapat berpengaruh terhadap kondisi konstelasi politik internasional (Gilpin, 1997; 27).

Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kaum liberal percaya bahwa ekonomi dan politik tidak saling mempengaruhi. Hanya ekonomi yang berpengaruh terhadap politik. Sementara ekonomi (dalam hal ini pasar) akan berjalan dengan sendirinya melalui mekanisme spontan, tanpa membutuhkan campur tangan politik.

Hal ini dapat juga mengantarkan kita dalam pandangan kaum liberal yang menolak pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor utama dalam menghadapi berbagai permasalahan ekonomi (Jackson & Sorensen, 1999; 238-236).

Ciri khas dari liberalisme lainnya adalah adanya perdagangan bebas. Dalam perdagangan bebas, proses produksi dan distribusi inilah yang harus lepas dari campur tangan negara. Pemerintah tidak boleh memberikan dukungan apapun pada siapapun, dalam proses distribusi maupun produksi, sekalipun hal ini menimbulkan kesenjangan dalam segi materi.

Hal yang perlu digaris bawahi dalam konsep liberalisme dari pemikiran Adam Smith adalah bahwa pasar diserahkan pada the invisible hand, bukan pada negara. Proses ekonomi dianggap akan berjalan secara adil hanya bila terjadi melalui invisible hand atau tangan-tangan tak kelihatan (Schumpeter; 2003; 140).

Sukarna (1981) menjelaskan bahwa dasar ideologi Liberalisme ada tiga, yakitu (1) Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Lalu, dari ketiga ide dasar tadi, didapatkan nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar liberalisme, sekaligus menjadi ide pokok pemikiran liberalisme dalam konteks ekonomi politik, sebagai berikut :

  1. Pemusatan kepentingan terletak pada individu (The Emphasis of Individual).
  2. Menolak ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).
  3. Setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam segala bidang (Hold the Basic Equality of All Human Being).
  4. Adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam menjalankan kehidupan sesuai pilihan hidupnya sendiri (treat the Others Reason Equally).
  5. Pemerintah harus bertindak menurut kehendak rakyat (Government by the Consent of The People or The Governed).
  6. Berjalannya hukum karena fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat (The Rule of Law).
  7. Negara hanya alat untuk mencapai kepentingan individu dalam masyarakat (The State is Instrument).

Hubungan Liberalisme dan Kapitalisme

Ketika kita berbicara tentang masalah ekonomi dari pandangan kaum liberal, maka kita akan banyak bersinggungan dengan kapitalisme. Ideologi kapital banyak berkontribusi terhadap kemunculan ideologi liberal itu sendiri. Sebab, liberalisme sebagai suatu ideologi yang mengarah pada ekonomi banyak mengambil ide –ide pokok dari kapitalisme.

Orientasi utama dari kapitalisme adalah pada profit atau keuntungan individu. Jadi, bagi kaum kapitalis, mereka juga menekankan adanya individualisme dan kebebasan individu. Bagi kaum liberal sendiri, kapitalisme ini merupakan simbol dari kemajuan ekonomi dan eksistensi masyarakatnya. Adanya persaingan individu dalam mencari keuntungan dapat mempengaruhi percepatan terhadap industrialisasi ekonomi (Rohmann, 2000: 52-53).

Hubungan antara liberalisme dan kapitalisme sendiri terbilang sangat erat. Namun, jika ingin melihat secara tegas, benang merah yang nampak jelas terletak pada pandangan mereka terhadap kondisi ekonomi. Jika liberalisme mengarah pada suatu ide pokok kebebasan yang dapat mencakup berbagai hal, maka pada kapitalisme, ide pokok yang digagas hanya berfokus pada kerangka ekonomi saja.

Kapitalisme sendiri berkembang dengan begitu pesat hingga mendominasi sistem ekonomi dunia hingga abad-21. Bagi kaum kapitalis, perekonomian yang berlangsung secara bebas tanpa campur tangan negara juga akan berdampak pada bebasnya kegiatan ekonomi lintas negara.

Hal ini berarti, perekonomian lokal dapat terintegrasi ke dalam tantanan perekonomian global, sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pasar bebas dan mekanisme pasar yang mempengaruhi perekonomian negara-negara di dunia (Yusanto, 2008: 2).

Jika menghubungkan adanya gagasan pokok pasar bebas dengan mekanisme pasar yang berjalan secara spontan, maka kita juga akan menemukan istilah “the invisible hand”. Bagi kaum kapitalis, “The invisible hand” atau “tangan tak kelihatan” ini adalah konsep yang akan membawa sistem pasar pada titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran (Usman & Isnawita, 2009: 7).

Dengan kata lain, ekonomi tidak butuh campur tangan dari politik. Pemerintah tidak perlu melakukan berbagai aturan untuk mempengaruhi pasar. Membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan sendirinya, melalui skema otomatis atau lewat peran invisible hand, akan membawa pasar mencapai titik keseimbangannya sendiri (titik equilibrium).

Peran Negara dalam Liberalisme

Kaum liberalisme menempatkan individu dalam posisi yang paling utama atau istimewa. Hal ini juga sejalan dengan tokoh liberalisme klasik, Adam Smith. Bagi Smith, individu dianggap mempunyai self interest atau kepentingan pribadi masing-masing.

Keuntungan pribadi inilah yang dapat diperoleh oleh masing –masing individu dengan jalan aktivitas ekonomi yang dilakukan tanpa peran dominan dari negara, dan bisa diperoleh oleh siapa pun. Sederhananya, kebebasan individu bagi kaum liberalis adalah hal yang sangat diagung –agungkan. Sementara negara harus mengambil campur tangan yang seminimal mungkin dalam kehidupan individu.

Namun, liberalisme bukan berarti meniadakan peran negara sama sekali. Mekanisme pasar dalam konsep pasar murni memang hal yang harus berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan negara. Akan tetapi, Smith tetap mengatakan bahwa negara tetap harus mengambil peran tertentu bagi masyarakat.

Adapun fungsi peran negara dalam liberalisme menurut Smith adalah :

  1. melindungi warga negaranya dari intervensi atau agresi kelompok atau pun bangsa asing,
  2. merawat institusi publik, seperti bendungan, jalan, maupun jembatan.

Adapun tokoh liberalisme lain yang mendukung pemikiran Smith, yang dikenal engan konsep nagtive liberty, Herbert Spencer, juga memiliki pandangan sendiri. Menurut Spencer, fungsi dan tugas negara dalam liberalisme harus sangat terbatas, yakni :

  1. tidak boleh mengurusi aktivitas individu seperti dalam masalah agama,
  2. tidak boleh mengatur mekanisme pasar,
  3. tidak boleh mendukung kolonialisasi, dan juga
  4. tidak boleh membantu orang miskin.

Kritik terhadap Liberalisme

Kaum liberal menginginkan ekonomi atau pasar dapat berjalan secara bebas dengan hanya mengandalkan invisible hand. The invisible hand akan mampu membawa pasar menemukan titik keseimbangannya sendiri, dan ketika terjadi masalah, invisible hand pula yang akan menanganinya sendiri untuk mengembalikan pasar pada titik keseimbangannya semula. Semuanya, berjalan secara otomatis karena individu bebas untuk berusaha.

Namun, apakah hal yang diyakini kaum liberal ini terbukti mampu dipraktekkan dalam skema ekonomi politik suatu negara? Bisakah suatu negara benar –benar melepaskan campur tangannya terhadap ekonomi, dan melepaskan berbagai permasalahannya terhadap mekanisme pasar spontan?

Faktanya, perdagangan bebas dengan hanya mengandalkan the invisible hand saja tidak cukup. Kritik terhadap liberalisme muncul dari berbagai kalangan, di antaranya adalah dari kaum marxis, sosialis dan juga neoliberalis.

Kritik terhadap liberalisme yang pertama adalah cara pandang kaum liberal yang terlalu normatif mengenai bagaimana seharusnya dunia berjalan. Kaum liberal membawa logika berpikir tingkat individu dan domestik ke ranah tingkat internasional, dan ini adalah hal yang terlalu normatif.

Sebab, komunitas atau masyarakat dalam suatu negara adalah unit yang tersusun atas banyak individu, sehingga logika berpikir yang tercipta akan sangat berbeda. Akan terlalu sulit untuk mengambil kebijakan luar negeri dan menjalankan hubungan internasional dengan mengambil logika dari masyarakat luas.

Kritik kedua adalah kaum liberalis yang sangat mendewakan demokrasi dan kaitannya terhadap perilaku negara. Masyarakat dalam suatu negara tidak selalu memiliki pandangan yang sama. Pikiran dari begitu banyak individu juga akan menghasilkan ide yang berbeda-beda sehingga akan sangat sulit untuk mencapai konsensus nasional untuk menentukan arah kebijakan relasi luar negeri.

Apalagi, menyerahkan keputusan krusial dalam skema hubungan luar negeri kepada masyarakat adalah tindakan ceroboh mengingat tidak semua masyarakat mempunyai pemahaman dan pertimbangan yang matang terhadap konteks hubungan kenegaraan.

Sejarah Kegagalan Liberalisme

Ideologi liberalisme menyebar dengan begitu pesat sejak kemunculannya. Tidak hanya di benua Eropa, liberalisme juga mulai banyak diterapkan negara –negara lain, termasuk Amerika Serikat.

Namun, dalam perjalanannya, Amerika Serikat yang juga menerapkan ide –ide dari kaum liberal ini rupanya harus menghadapi permasalahan ekonomi yang cukup berat karena hanya mengandalkan the invisible hand saja.

Tercatat pada tahun 1929, ketika menjalankan ide –ide liberalisme, Amerika Serikat sempat mengalami krisis yang amat parah. Krisis parah tersebut terjadi pada bursa saham Wall Street yang kemudian dikenal sebagai the great depression. Ketidakhadiran pemerintah dalam kontrol ekonomi berimbas pada bursa saham yang berlangsung dengan skema yang tidak benar sehingga pada akhirnya menimbulkan krisis dalam berbagai aspek ekonomi lain.

The Great Depression merupakan sejarah besar bagi kegagalan ekonomi di Amerika Serikat, sekaligus kegagalan besar bagi liberalisme. Krisis besar ini ditandai dengan kejatuhan bursa saham Wall Street pada bulan Oktober 1929, yang kemudian berimbas buruk pada seluruh sektor perekonomian.

Kegagalan bursa saham Wall Street ini diawali dari terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat serta banyaknya barang yang tidak terjual. Hal ini kemudian menjadi rentetan panjang krisis hingga momentumnya terjadi penjualan saham Wall Street secara besar –besaran.

Bursa saham terus menerus anjlok dalam tiga tahun berikutnya. Bank –bank banyak yang bangkrut dan terpaksa ditutup. Setidaknya ada 11 ribu bank dari total 25 ribu bank yang ada di Amerika Serikat harus tutup.

Daya beli masyarakat turun. PHK terjadi secara massal, di mana –mana. Jumlah pengangguran terus mengalami peningkatan. Terjadi kelaparan di mana-mana. Para tunawisma dan pengemis pun mulai menjamur di berbagai wilayah. Ini rupanya menjadi fenomena besar yang menandai kegagalan sistem pasar bebas.

Kegagalan ini kemudian memunculkan aliran baru yang menentang adanya sistem pasar bebas ‘murni’. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pasar pada mekanisme spontan dan benar –benar meniadakan peran pemerintah. Pemerintah diperlukan guna mencegah terjadinya market failure dalam sistem pasar bebas. Dari sinilah, diketahui bagaimana liberalisme menjadi tidak lagi ideal dan memunculkan konsep liberalisme baru yang kemudian dikenal sebagai neoliberalisme (Usman & Isnawita, 2009: 8).

Neoliberalisme menempatkan pemerintah dalam peran menjaga dan memastikan sistem ekonomi kapitalis berada pada jalur yang tepat, melalui regulasi dan kekuasaan yang dimiliki. Negara juga harus berperan dalam memberikan jaminan terhadap keberlangsungan hak dan kebebasan individu. Lalu pada taraf hubungan internasional, stabilitas ekonomi global ini diserahkan pada institusi internasional (Rohmann, 2000: 231).

Dari sini, maka muncul benang merah antara ekonomi dan politik. Dengan kata lain, terdapat saling keterpaduan antara ekonomi dan politik, yang masing –masing saling dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Ekonomi dan politik pada dasarnya saling bergantung dan tidak bisa terlepas begitu saja.

Referensi:

  1. Aida, Ridha. 2015. Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas. DEMOKRASI Vol. IV No. 2 Th. 2005
  2. Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
  3. Francis Fukuyama. 1992.  The End of History and the Last Man. The Free Press.
  4. Gilpin, Robert, 2001. “The Study of International Political Economy” dalam Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, pp: 77-102
  5. Gilpin, Robert.1997.  The Political Economy if International Relation. Princeton University Press.
  6. Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2009. “Ekonomi Politik Internasional” dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp.228-243
  7. Burchill, et. Al. 2015. Theories of International Relations. New York : Palgrave Macmillan. p. 58.
  8. Usman, Syarifudin dan Isnawita. 2009. Neoliberalisme Mengguncang Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
*Penulis: Andika Drajat Murdani

Materi lain: