Digital Diplomacy: Diplomasi Digital dalam Hubungan Internasional

Digital Diplomacy: Diplomasi Digital dalam Hubungan Internasional

Pengertian dan Ruang Lingkup

Diplomasi digital (digital diplomacy / e-diplomacy) adalah praktik dan strategi diplomasi yang memanfaatkan teknologi informasi—termasuk internet, platform media sosial, aplikasi komunikasi daring, dan alat-alat data—untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri, membangun relasi internasional, dan mengelola persepsi publik global. 

Istilah ini mencakup dua dimensi utama: (i) perubahan lingkungan praktik diplomasi yang diakibatkan oleh digitalisasi komunikasi (mis. pertemuan online, akses data real-time), dan (ii) penggunaan alat digital sebagai instrumen aktif diplomasi publik, nation branding, mitigasi krisis, atau konfrontasi informasi lintas negara. 

Definisi dan kajian akademik tentang digital diplomacy memberi penekanan bahwa fenomena ini bukan sekadar “akun Twitter” kementerian luar negeri, melainkan sebuah transformasi organisatoris dan strategis pada praktik diplomasi modern. 

Evolusi: Dari Diplomasi Tradisional ke Diplomasi Digital

Perkembangan diplomasi digital harus dipahami sebagai proses evolusi, bukan penggantian total praktik tradisional. Sejak awal tahun 2000-an, foreign ministries di berbagai negara mulai membangun unit e-diplomacy, membuka akun resmi di media sosial, dan memanfaatkan konferensi video untuk komunikasi multilateral. 

Namun perubahan yang paling radikal bukan hanya platformnya—melainkan kecepatan, skalanya, dan sifat interaktif Komunikasi. Pesan dapat diproduksi dan disebar secara massal dalam hitungan menit, audiens global dapat merespons secara langsung, dan aktor non-negara (LSM, media warga, influencer) menjadi bagian aktif arena diplomasi. Pandangan ini melihat digital diplomacy sebagai “change management” di organisasi diplomatik: kebijakan, struktur, dan kapasitas SDM perlu berubah agar diplomasi tetap relevan di era jaringan informasi

Mekanisme & Instrumen Diplomasi Digital

Praktik diplomasi digital menggunakan beragam instrumen dan taktik, antara lain:

  • Akun resmi & platform media sosial (Twitter/X, Facebook, Instagram, YouTube, TikTok, LinkedIn) untuk komunikasi publik dan rilis kebijakan.
  • Konten visual dan storytelling (video pendek, infografis, thread naratif) untuk menjangkau audiens yang luas dan menciptakan resonansi emosional.
  • Hashtag campaigns & micro-mobilization untuk mengorganisir dukungan atau menyebarkan narasi tertentu.
  • Monitoring & social listening — alat analytics untuk mengukur sentimen, menjaring isu, dan mendeteksi munculnya disinformasi.
  • Digital public engagement (QA live, livestreaming, AMA) yang memungkinkan interaksi langsung antara pejabat diplomatik dan publik.
  • Cyber diplomacy / cyber policy: komunikasi resmi terkait norma penggunaan siber, kerja sama keamanan siber, dan perundingan internasional dalam domain teknologi.

Skema ini menunjukkan bahwa diplomasi digital bukan aktivitas tunggal tetapi rangkaian taktik yang saling melengkapi. 

Fungsi Utama Diplomasi Digital

Secara praktis, diplomasi digital melaksanakan beberapa fungsi utama dalam hubungan internasional modern:

  • Diplomasi publik & nation branding: membentuk citra negara melalui konten budaya, prestasi, dan narasi positif. Contoh: promosi budaya populer atau kampanye pariwisata yang viral. 
  • Pengelolaan krisis & komunikasi darurat: menyebarkan informasi resmi cepat saat bencana, konflik, atau pandemi.
  • Mobilisasi dukungan internasional: menggalang simpati publik dan tekanan politik lintas negara. Contoh: upaya mendapatkan dukungan terhadap kebijakan atau sanksi. 
  • Kontes narasi & kontra-disinformasi: melawan propaganda lawan melalui counter-messaging dan fact-checking. Namun area ini juga rentan konflik etika dan politisasi moderasi konten. 
  • Negosiasi teknis & tata kelola digital: menjadi arena pembicaraan (tech diplomacy) terkait regulasi data, privasi, dan norma perilaku di dunia maya. 

Aktor dalam Diplomasi Digital

Diplomasi digital melibatkan spektrum aktor yang lebih luas dibanding diplomasi tradisional:

  • Negara & Kementerian Luar Negeri (akun resmi, duta besar digital).
  • Pemimpin politik (tweets dan pernyataan publik kadang menjadi kebijakan luar negeri tersendiri).
  • Organisasi internasional (PBB, WHO) dan lembaga regional yang memakai platform digital untuk koordinasi.
  • Aktor non-negara: NGO, LSM, perusahaan teknologi (platform juga menetapkan aturan permainan), influencer, dan komunitas diaspora. Peran aktor non-negara penting karena mereka dapat mempercepat adopsi pesan atau sebaliknya memperbesar resistensi terhadap narasi negara. 

Contoh Kasus Empiris

Ukraina: Twitter diplomacy dan perang informasi (2022—)

Selama invasi Rusia (2022—), pemerintah Ukraina dan Presiden Volodymyr Zelenskyy memanfaatkan platform digital (termasuk Twitter/X, YouTube, dan TikTok) untuk mengkomunikasikan kondisi di lapangan, memobilisasi dukungan diplomatik, dan membangun narasi moral yang kuat. Kajian akademik menunjukkan bahwa komunikasi presiden dan institusi Ukraina di media sosial menjadi alat penting untuk mendapatkan dukungan publik internasional, menggalang bantuan, dan mempengaruhi agenda kebijakan luar negeri negara lain. Namun perang informasi juga memicu gelombang dis-/misinformasi yang memerlukan strategi kontra dan kerja platform. 

TikTok dan “perang” visual (platform video pendek)

Platform seperti TikTok menampilkan bentuk baru komunikasi geopolitik: konten video pendek yang viral, gaya narasi visual emosional, dan algoritma rekomendasi yang sangat efektif. Konflik Ukraina dianggap sebagai “first TikTok war” karena jutaan video yang memvisualkan perang menyebar cepat — memperkuat solidaritas internasional tapi juga menyebarkan misinformasi. TikTok juga menjadi medan perdebatan tentang regulasi platform dan hubungan geopolitik karena kepemilikan platform dan isu keamanan data. 

Hallyu (K-Pop) sebagai alat soft power digital

Korea Selatan menempatkan budaya populer (K-Pop, drama, film) sebagai instrumen soft power yang dijalankan melalui platform digital (YouTube, Instagram, TikTok). Studi menunjukkan bahwa keberhasilan Hallyu di platform digital membantu memperkuat citra negara dan membuka ruang pengaruh budaya yang berimplikasi pada hubungan ekonomi dan politik luar negeri Korea Selatan. Ini menegaskan fungsi diplomasi digital sebagai arena soft power budaya. 

Serangan Siber dan Politik (SolarWinds/2020)

Peristiwa peretasan rantai pasok perangkat lunak SolarWinds (disclosure Des 2020) memperlihatkan dimensi keamanan dari cyber politics: aktor berkemampuan negara diduga menanamkan backdoor (SUNBURST) ke software manajemen TI, mengakses jaringan institusi pemerintah dan korporasi global. Kasus ini menegaskan bahwa ancaman siber adalah alat geopolitik yang nyata — bukan hanya isu teknis — sehingga digital diplomacy kini melibatkan negosiasi teknis, respons kolektif, dan pembangunan norma internasional keamanan siber. 

Implikasi terhadap Teori Hubungan Internasional

Diplomasi digital menguji dan memperkaya teori-teori HI klasik:

  • Realisme: menekankan bahwa meski medium berubah, negara tetap mengejar kepentingan dan keamanan; kemampuan siber dan pengendalian narasi menjadi bagian dari kemampuan daya (power). Kasus serangan siber dan operasi informasi memperlihatkan bagaimana kepentingan nasional direfleksikan dalam aktivitas digital. 
  • Liberalisme: digitalisasi mempermudah kerja sama lintas negara dan lembaga; institusi multilateral kini berperan lebih sering dalam forum daring dan berbagi data (mis. koordinasi kesehatan global). Namun kebutuhan aturan dan institusi baru (cyber norms) juga muncul. 
  • Konstruktivisme: platform digital mempercepat konstruksi identitas, norma, dan legitimasi; hashtag, narasi viral, dan figure publics (pemimpin/pengguna) membentuk “kebenaran” sosial yang kemudian mempengaruhi hubungan antaraktor. Contoh: framing perang, isu HAM, atau klaim kedaulatan dapat dipengaruhi oleh narasi online. 

Tantangan, Risiko, dan Batasan

Beberapa masalah kunci yang mengiringi diplomasi digital:

  • Disinformasi & operasi informasi asing: platform dapat dimanfaatkan untuk menyebar kebohongan sistematis yang menggoyang opini publik dan memanipulasi politik dalam negeri negara lain. Platform dan pemerintah kini bergulat antara kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap intervensi berbahaya. 
  • Ketergantungan pada platform swasta: banyak praktik diplomasi bergantung pada infrastruktur perusahaan swasta (Meta, ByteDance, Twitter), sehingga kebijakan platform berdampak langsung pada strategi diplomasi negara. Ini menimbulkan masalah akuntabilitas dan geopolitik platform. 
  • Digital divide & representasi: efektifitas diplomasi digital bergantung pada akses internet dan literasi digital; negara dengan keterbatasan infrastruktur atau audience yang berbeda tingkat penggunaan platformnya akan menghadapi hambatan.
  • Etika & legitimasi: penggunaan influencer, micro-targeting, atau algoritmik persuasion menimbulkan pertanyaan etis tentang manipulasi publik dan transparansi kampanye diplomatik.
  • Keamanan & resistensi: aktor negara harus menyeimbangkan keterbukaan (open diplomacy) dengan kebutuhan keamanan informasi internal (mis. perlindungan data diplomatik dan sistem TI). 

Diplomasi digital adalah domain strategis yang menggabungkan komunikasi, budaya, keamanan, dan teknologi. Praktik ini memperluas alat tradisional hubungan internasional—memungkinkan pengaruh yang lebih cepat, lebih luas, dan lebih bersifat emosional—tetapi juga membuka ranah baru konflik (informational warfare, cyber attacks) dan tantangan tata kelola. Bagi mahasiswa HI, memahami diplomasi digital berarti menguasai bagaimana narasi, platform, dan kekuatan teknologi berinteraksi dengan kepentingan negara, norma internasional, dan aktor non-negara dalam sistem internasional kontemporer. 

Daftar Pustaka 

  • Bjola, C., & Holmes, M. (Eds.). (2015). Digital diplomacy: Theory and practice. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315760478
  • Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.
  • Dal Yong Jin. (2021). K-pop and soft power: Cultural politics in the age of social media. University of Illinois Press. https://doi.org/10.5406/j.ctv1wxv16h
  • Lee, S. T. (2022). A battle for foreign perceptions: Ukraine's country image in wartime. Pacific Journalism Review, 28(1), 31–46. https://doi.org/10.24135/pjr.v28i1.1141
  • Manor, I. (2019). The digitalization of public diplomacy. Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1007/978-3-030-04405-3
  • U.S. Cybersecurity & Infrastructure Security Agency. (2020, December). Advanced persistent threat compromises SolarWinds Orion software supply chain (Alert AA20-352A). https://www.cisa.gov/news-events/alerts/aa20-352a
  • Microsoft Security Response Center. (2020, December). Customer guidance on recent nation-state cyber attacks. Microsoft. https://www.microsoft.com/security/blog/2020/12/13/customer-guidance-on-recent-nation-state-cyber-attacks
  • Oxford Research Encyclopedia. (2018). Digital diplomacy. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228637.013.652
  • Wang, L. (2024). Cyber warfare: A study of Zelenskyy's social media political strategy. Frontiers in Political Science, 6, 1414. https://doi.org/10.3389/fpos.2024.01414
  • Wired. (2022, March 8). TikTok was designed for war. Wired Magazine. https://www.wired.com/story/tiktok-ukraine-russia-war/
  • The Guardian. (2022, February 28). Facebook takes down Ukraine disinformation network and bans Russian-backed media. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2022/feb/28/facebook-takes-down-ukraine-disinformation-network
  • DiploFoundation. (2021). Digital diplomacy. DiploFoundation. https://www.diplomacy.edu/topic/digital-diplomacy
*Penulis: Hasna Wijayati

Posting Komentar untuk "Digital Diplomacy: Diplomasi Digital dalam Hubungan Internasional"